Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Repetisi Dua Kata

1 Oktober 2021   14:16 Diperbarui: 1 Oktober 2021   14:19 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mereka hanya tahu dua kata: bagus dan elegan. Selebihnya, tak ada lagi."

Itulah keluh kesah yang kudengar dari rekanan yang menjadi penerus di tempat lamaku. Aku hanya bisa menghela nafas dan bergumam, 

"Ternyata masih sama."

Jujur, ini sangat mengecewakan. Apa yang pernah kualami di sana, kembali dialami orang lain. Bekerja sendiri tanpa arahan apapun, dan hanya menerima tekanan demi tekanan.

Aku pernah berada dalam posisi itu. Rasanya sungguh mengerikan. Dukungan yang diberikan seringkali hanya berakhir sebagai ucapan, karena semua punya kesibukan sendiri-sendiri.

Aku dipaksa menjadi seorang Maradona dadakan, dan jadi sasaran tembak. Sebagai seorang yang bukan ahli segala macam, aku hanya bisa sadar diri.

Mereka menuntut hasil instan, dan tuntutan ini hanya bisa dipenuhi oleh ahli yang punya tim lengkap.

Itulah kenapa, aku lalu memilih fokus mempersiapkan materi, supaya bisa diolah lebih lanjut oleh tim ahli, sambil memperkenalkan tim ahli, yang memang berpengalaman di bidangnya.

Aku tak peduli, saat keputusanku dipertanyakan. Mereka lebih membutuhkan ini, dan semua keputusan ada di tangan mereka. 

Bak gayung bersambut, mereka ternyata setuju bekerja sama. Dengan biaya yang lebih murah, seharusnya ini bisa berjalan dengan baik. Aku sudah menyiapkan semuanya. Tinggal diteruskan dan dibereskan.

Aku sendiri lalu memilih pergi, supaya mereka bisa berhemat, seperti apa yang sudah kudengar. Semua sudah diserahkan sebelum aku pergi, jadi seharusnya aku bisa pergi dengan tenang.

Tapi, apa yang terjadi?

Semua yang sudah kukerjakan lenyap, dan ada yang terbengkalai. Tim ahli itu terlihat seperti amatir, karena mereka hanya dibekali dua kata; bagus dan elegan. Selebihnya, tidak ada.

Aku tak kaget. Memang inilah cara dan gaya mereka. Mau untung besar, tapi kurang siap di sana-sini. Ternyata benar, punya tim ahli pun bisa jadi percuma, karena mereka tak memahami apa yang dimiliki.

Seperti yang kualami dulu, ada sabotase di sana. Kini, itu terjadi lagi, dan aku hanya bisa sedikit membantu dengan bahan yang masih kupunya. Selebihnya terserah.

Ceritaku di sana sebenarnya sudah lama selesai. Tapi, apa yang barusan kudengar semakin membuatku yakin, kekacauan seperti ini adalah sesuatu yang berulang di sana. 

Entah amatir atau ahli sekalipun dijamin akan bernasib sama di sana. Mereka sudah terbiasa begitu, dan akan terus begitu, entah sampai kapan. Mungkin, mereka takut terlihat lebih bodoh, dan kehilangan pijakan untuk menginjak.

Aku bersyukur, karena sudah pergi dari sana. Meski membawa pulang kelelahan mental yang brutal, semua memori di sana sudah kutinggalkan di sana. Hubungan baik yang ada juga tetap terjaga, meski tak pernah lagi berjumpa.

Tak ada kenangan yang harus dirindukan, dan tak ada pula penyesalan yang terbawa. Jika nanti berjumpa lagi, kita hanya berjumpa sebagai teman. Tak lebih tak kurang.

Kenangan kadang membuat rindu, jika layak diingat, tapi ia layak dihapus atau dibuang, jika hanya menjadi racun, karena manusia bukan ular sendok, si pengumpul racun nan handal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun