Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kembalinya Siklus "Roller Coaster" Manchester United

23 September 2021   12:55 Diperbarui: 23 September 2021   12:58 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gol Manuel Lanzini (nomor punggung 10) ke gawang Manchester United (Okezone.com)

Andai tak dapat cukup suplai umpan matang, ia akan menjadi layang-layang putus, seperti saat babak kedua menghadapi Young Boys. Jika Ole mengistirahatkannya, seperti saat melawan West Ham di Piala Liga, tim berada dalam masalah lebih rumit.

Terbukti, meski mendominasi alur permainan, kreativitas The Red Devils terbukti buntu. Tak adanya finisher andal seperti Ronaldo, membuat lini depan tim terlihat tumpul.

Di sisi lain, Jadon Sancho yang dibeli mahal dari Borussia Dortmund ternyata masih belum klik dengan tim. Malah, sebagian pihak menyebut, pemain Inggris ini bisa saja bernasib seperti Donny Van De Beek musim lalu; dibeli mahal, tapi malah melempem.

Siklus "roller coaster" United belakangan ini mungkin menjadi semacam repetisi dari tahun-tahun sebelumnya. Setiap kali tampil bagus, pujian datang seperti banjir, begitu juga dengan cacian di saat tim tampil jelek.

Saat tim tampil jelek, Ole Gunnar Solskjaer hampir pasti jadi kambing hitam. Tapi, setiap kali rumor pemecatan datang, pelatih asal Norwegia itu mendadak jadi sakti, sebelum akhirnya kembali ke setelan pabrik. Persis seperti "roller coaster"

Jelas, masih ada "post-power syndrome" di sini, meski era sukses Sir Alex Ferguson sebenarnya sudah selesai sejak tahun 2013. United memang punya catatan cemerlang di masa lalu, tapi situasi saat ini sudah jauh berbeda. Ada banyak tim yang muncul sebagai lawan kuat, dalam kompetisi yang semakin dinamis.

Jika ingin siklus "roller coaster" ini dibiarkan saja, punya seorang Cristiano Ronaldo sekalipun akan percuma. Apalagi, jebolan akademi Sporting Lisbon itu sebenarnya hanya solusi jangka pendek, karena sudah berusia 36 tahun.

Untuk sesaat, peningkatan performa memang hadir secara instan. Tapi, inkonsistensi yang belakangan hadir menjadi satu peringatan. Kalau euforia berlebihan masih ada, ini bisa menjadi pemicu awal penurunan mereka ke level berikutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun