Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Sisi Lain Reog Ponorogo

8 Agustus 2021   15:39 Diperbarui: 8 Agustus 2021   15:43 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara soal Reog Ponorogo, dalam konteks sebagai satu warisan budaya, selalu ada hal-hal unik tentangnya. Mulai dari mitos sampai kontroversi, semua hadir beriringan dengan eksotikanya.

Sebagai informasi, Reog Ponorogo adalah kesenian tradisional dari Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Formasinya terdiri dari penari barongan dan penari Jathilan, tapi tidak terpaku pada aturan jumlah atau formasi tertentu.  

Berat standar reog Ponorogo adalah 35 kg, dengan tinggi 2.25 meter, selebihnya kembali ke selera pribadi dan kekuatan fisik penari. Bisa juga digunakan untuk dekorasi pelaminan.

Pada masa lalu, seluruh peraga / penari Reog Ponorogo adalah pria, seperti Tari Lengger di daerah Banyumas (Jawa Tengah) dan sekitarnya.

Penyebabnya, bagi masyarakat Ponorogo, penari perempuan dianggap kurang baik, karena terkesan seronok atau tabu.

Ini menjadi sebuah keunikan yang sempat menjadi ciri khas dan mengundang pro-kontra, karena dianggap tak biasa.

Keunikan dan dinamika pelakon Reog Ponorogo juga pernah diangkat menjadi sebuah film oleh sutradara kenamaan Garin Nugroho, dalam film berjudul "Kucumbu Tubuh Indahku".

Film ini mengisahkan kiprah seorang penari Lengger yang berperan sebagai  gemblak (abdi) seorang warok, dalam tradisi klasik penari Reog Ponorogo.

Meski dianggap tak biasa, film yang antara lain dibintangi oleh Sujiwo Tejo dan Endah Laras ini mampu meraih penghargaan Film Terbaik di Festival Film Indonesia tahun 2019, beserta beberapa penghargaan lainnya, baik di dalam maupun luar negeri.

Berkat film ini juga, Garin Nugroho mendapat penghargaan Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia tahun 2019.

Film ini menjadi satu gambaran sederhana yang masih cukup awam tentang kehidupan pelaku seni Reog Ponorogo.

Pertanyaannya, bagaimana dengan pandangan dari sudut pandang penggiat seni Reog Ponorogo itu sendiri?

Sedikit jawaban dari pertanyaan ini saya temukan, dalam webinar KOTEKA Kompasiana, Sabtu (7/8). Dalam kesempatan ini, hadir Pak Sudirman, seorang pegiat seni dan budaya tradisional, khususnya Reog Ponorogo.

Hadir bersama Pak Warno dan Pak Agus Widodo (sesepuh Reog Ponorogo), pria kelahiran Ponorogo, 7 April 1964 ini sedikit bercerita tentang pengalaman dan sudut pandangnya tentang Reog Ponorogo, yang sudah dikenalnya sejak masih kecil.

Hadir juga Profesor Nursilah, dosen seni Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Beliau merupakan ketua komunitas Reog Ponorogo wilayah Jakarta, yang juga berasal dari Ponorogo dan merupakan kawan lama Pak Sudirman.

Kembali ke Pak Sudirman, perkenalannya dengan Reog Ponorogo sendiri berawal dari latar belakang kesehariannya. Ia berasal dari keluarga pengrajin gamelan.

Ini membuatnya familiar dengan Reog dan warok, sekaligus menjadi awal kecintaannya dengan kesenian Reog Ponorogo. Kalau kata idiom Jawa "witing tresno jalaran saka kulina" alias cinta karena terbiasa.

Dari situ, ia mulai belajar tari sampai akhirnya mencatat debut di panggung pentas pada tahun 1975. Meski memilih menjadi penari "freelance" alias lintas grup, keputusan ini terbukti jitu.

Pengalamannya menari reog begitu banyak, dengan ikut pentas keliling Ponorogo dan ke berbagai daerah di Indonesia. Salah satunya, pada momen Upacara Penutupan SEA Games 2011 di Jakarta.

Pengalaman ini lalu dipadukannya dengan bekal akademik, saat kuliah seni tari. Di sini, Pak Sudirman mempelajari seni tari tradisional dan klasik dari berbagai daerah di Indonesia.

Tujuannya, supaya dapat mewariskan ilmu tari kepada generasi muda, sekaligus melanjutkan amanah untuk melestarikan reog Ponorogo. Baginya, Reog Ponorogo dipandang sebagai warisan budaya adiluhung turun temurun dari Ponorogo yang harus dilestarikan.

Bekal pengalaman ini membawanya menjadi pelatih tari tradisional dan mengajar mata pelajaran (muatan lokal) Reog Ponorogo, sebelum akhirnya mendirikan sanggar tari di Joglo Paju, Kabupaten Ponorogo, yang saat ini dikelolanya.

Dalam mengajar, Pengelola Sanggar Kartika Putri ini biasa membangun rasa suka murid dengan membuat festival tari secara rutin, baik di sekolah maupun di sanggar tari.

Di sini, bekal pengalaman dan ilmunya mampu dipadukan dengan luwes sebagai satu bentuk terapan. Hasilnya, tercipta kaderisasi penari dan pelatih tari yang berkelanjutan di Ponorogo.

Sebelum pandemi, Pak Sudirman biasa mengadakan pentas pagelaran seni dengan jadwal cukup padat. Pada bulan-bulan awal pandemi pun, pagelaran seni tetap rutin diadakan di sanggarnya, dengan menerapkan protokol kesehatan.

Tapi, sejak meledaknya virus Corona varian delta, Pak Sudirman memilih fokus membuat kostum tari. Dirinya juga sedang menulis buku dongeng untuk anak-anak, dengan dibantu anaknya yang kebetulan berprofesi sebagai guru TK.

Mengenai Reog Ponorogo sendiri, pria yang pernah duet menari Jathil Lanang Reog Ponorogo bersama Didik Nini Thowok ini menyebut, seiring berjalannya waktu, pelaku seni Reog Ponorogo saat ini sudah lebih open minded, sehingga Reog Ponorogo dapat tetap relevan dengan konteks kekinian.

Jika dulu Reog Ponorogo dan warok dipandang hanya sebagai sesuatu yang sakral, mistis dan punya kekuatan spiritual, pandangan itu kini sama sekali berbeda.

Reog Ponorogo saat ini dipandang sebagai satu keterampilan yang bisa diajarkan dan diasah lewat latihan dan pertunjukan. Sama seperti kesenian tradisional pada umumnya.

Di sisi lain, untuk saat ini, peran warok dan gemblak cenderung bersifat simbolis, dan biasa dinarasikan dalam cerita masa lalu atau kisah legenda.

Seiring modernisasi dan kemunculan pendatang dari luar Ponorogo, peran warok dan gemblak dalam pertunjukan Reog Ponorogo belakangan sudah mulai melibatkan perempuan.

Meski sebenarnya menabrak pakem tradisional, tren ini tidak jadi masalah. Malah, ini dianggap sebagai warna baru dalam kesenian Reog Ponorogo.

Ini bisa terjadi, karena, Reog Ponorogo, sebagai sebuah kesenian dipandang sebagai milik semua orang. Dari sinilah eksistensi Reog Ponorogo bisa terus bertahan, bahkan berkembang, karena mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, tanpa kehilangan jati diri sebagai satu warisan budaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun