Sunyi. Begitulah suasana perpisahan yang terpaksa harus dirasakan Lionel Messi, saat akhirnya harus pergi dari Barcelona.
Setelah menjalani negosiasi perpanjangan kontrak yang cukup lama dan berlarut-larut, akhirnya Blaugrana harus merelakan kepergian sang kapten. Melalui situs resmi klub, pada Kamis (5/8, waktu Spanyol) Barca mengumumkan kepergian Messi, setelah kesepakatan perpanjangan kontrak batal tercapai.
Alhasil, kapten Timnas Argentina kini berstatus tanpa klub, dengan PSG dan Manchester City kembali muncul sebagai kandidat pelabuhan barunya.
Ini jelas sebuah pukulan telak buat Los Cules dan para pendukungnya. Maklum, sebelum kabar mengejutkan ini mengemuka, kedua belah pihak sudah menyepakati kontrak baru berdurasi lima tahun, dengan pemotongan gaji lima puluh persen dari sebelumnya.
Sayang, ketatnya aturan batasan anggaran gaji (salary cap) yang diterapkan pada klub La Liga Spanyol membuat semua berakhir buntu. Ditambah lagi, kondisi keuangan The Catalans sedang tak sehat, akibat hutang yang menumpuk dan salah urus di era kepemimpinan Josep Maria Bartomeu.
Soal salary cap, aturan ini sendiri hadir, untuk membantu klub tetap sehat secara finansial, meski sebenarnya masih terdampak imbas pandemi.
Tapi, besarnya anggaran gaji klub-klub La Liga, terutama Real Madrid dan Barcelona, rupanya menciptakan masalah sejak pandemi datang. Apa boleh buat, pemain bintang bergaji besar yang semula tak tersentuh justru jadi tumbal, supaya tak kolaps.
Masalah ini jugalah yang membuat Real Madrid melepas Sergio Ramos dan Raphael Varane. Keputusan pahit, tapi memang harus diambil.
Hanya saja, dengan lebih dari 600 gol plus sederet penghargaan dan trofi yang sudah didapat Leo di Nou Camp, perpisahan ini terasa sangat sunyi. Tak ada perpisahan meriah di stadion, seperti yang didapat Xavi Hernandez dan Andres Iniesta.
Meski begitu, ini justru serupa dengan pembawaannya. Seperti diketahui, sang Argentino dikenal berpembawaan kalem, tak aneh-aneh.Â
Si Kutu lebih banyak berbicara lewat aksi-aksi ajaibnya di lapangan, lengkap dengan berbagai rekor yang diciptakannya, dan trofi yang diraihnya.
Satu hal yang benar-benar membuatnya spesial adalah konsistensi di level top. Sejak masih berusia remaja sampai menginjak usia 34 tahun, ia mampu menjaga sinarnya tetap terang, di saat kebanyakan pemain seusianya sudah habis bahkan pensiun.
Konsistensi ini akan jadi satu tantangan tersendiri, bagi siapapun penerusnya. Untuk saat ini, Barca memang punya Ansu Fati. Pemain muda satu ini kebetulan juga merupakan jebolan akademi La Masia, seperti halnya Messi.
Tapi, perlu waktu untuk membuatnya menikmati peran sebagai penerus Messi di Barcelona. Bagaimanapun, jejak kegemilangannya di Catalonia terlalu indah untuk dilupakan Barcelonistas.
Maklum, prestasi dan rekor sang pemenang 6 Ballon D'Or bisa menjadi satu beban berat bagi penerusnya, karena akan dijadikan sebagai acuan bagi pendukung setia Azulgrana.
Uniknya, akhir kebersamaan pemain kidal ini dengan Blaugrana seperti mengulang kembali satu siklus regenerasi. Jika dulu La Pulga muncul sebagai pemain remaja berbakat penerus Ronaldinho yang meredup, kini giliran dirinya memberi jalan buat Ansu Fati dan pemain muda jebolan akademi La Masia lainnya.
Pada akhirnya, Messi meninggalkan Barcelona dalam sunyi, seperti karakternya selama ini. Kepergiannya memang jadi penanda akhir sebuah era buat Barca, tapi inilah awal sebuah pembaruan, bukan hanya untuk Barca secara khusus, tapi juga La Liga secara umum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H