Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Medali Emas Itu Susah

3 Agustus 2021   16:35 Diperbarui: 3 Agustus 2021   16:59 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Medali emas itu susah. Begitulah pendapat saya soal peluang bersaing atlet Indonesia di Olimpiade 2020. Secara total, Indonesia ambil bagian di 8 cabang olahraga dengan menyertakan 28 orang atlet.

Maklum, pesaingnya datang dari seluruh dunia, bukan hanya seluruh kecamatan. Olimpiade jelas bukan turnamen tarkam atau antar kampung yang kalau kata Warkop DKI "Semua Bisa Diatur".

Terlepas dari terpaan pandemi yang ujungnya serasa menunggu godot, sebenarnya persiapan kontingen kita, bahkan sejak sebelum corona tak lagi hanya jadi merek bir, kurang ideal.

Memang, di event Asian Games, yang biasanya jadi "batu loncatan" menuju Olimpiade, Tim Merah-putih berhasil mendapat total 31 medali emas di tahun 2018.

Kelihatannya bagus, tapi hanya untuk cabor bulutangkis (2 emas) dan angkat besi (1 emas) yang memang berhadapan langsung dengan kontingen China, sang langganan peraih medali emas Olimpiade.

Terbukti, dari kelima medali yang didapat, semuanya berasal dari cabor bulutangkis dan angkat besi. Mereka memang sudah terbiasa menghadapi lawan kuat dan terasah karenanya, jadi layak mendapat medali di Tokyo.

Saya tak bilang capaian Indonesia di Asian Games 2018 semu, karena jumlah medali emas yang didapat memang cukup banyak. Masalahnya, capaian hebat di rumah sendiri ini belum cukup representatif untuk dijadikan acuan, kecuali pada cabang olahraga olimpik, dengan lawan tanding yang benar-benar kuat.

Sedikit kejam, tapi itulah kenyataannya. Dari 31 medali emas yang didapat, lebih dari separuh diantaranya (14 medali) datang dari pencak silat, paralayang (2 medali) dan wushu (1 medali). Ketiganya adalah olahraga yang tak dipertandingkan di Olimpiade 2020.

Jadi, wajar jika langkah kontingen Indonesia di Olimpiade kali ini terasa lumayan berat. Di bulutangkis saja, ada Denmark, tim kuat dari Eropa, dan Taiwan yang sama-sama meraih satu medali emas.

Situasi semakin tak mengenakkan, karena ada begitu banyak petinggi partai politik yang mendadak pansos di media sosial. Tak ada apresiasi, apalagi ikut repot membina atlet, tapi tak malu-malu memasang foto diri dan partainya besar-besar. Menjijikkan.

(Kompas.com)
(Kompas.com)
Momen ini kebetulan langsung viral dan jadi bulan-bulanan warganet, tak lama setelah Indonesia sukses meraih satu medali emas Olimpiade di cabor bulutangkis kategori ganda putri, berkat kemenangan Greysia Polii dan Apriyani Rahayu di final, Senin (2/8).

Kalau soal apresiasi, para politikus oportunis ini bahkan masih kalah dengan beberapa pelaku usaha kuliner lokal, yang mengumumkan hadiah makan atau minum gratis di media sosial. Begitu juga dengan pihak-pihak lain yang langsung memberikan berbagai macam hadiah.

Terlepas dari situasi sulit karena pagebluk, apresiasi ini jelas lebih layak diapresiasi, karena mereka benar-benar memberikan apresiasi nyata, dan sesuai dengan apa yang masing-masing mereka punya.

Tak perlulah membandingkan tingkah para politikus narsis ini dengan pak presiden dan menteri-menterinya, yang memberikan ucapan selamat secara langsung, mengundang ke istana negara, berikut sejumlah hadiah dan kesempatan menjadi PNS di masa depan, kepada semua peraih medali.

Itu semua sudah selayaknya didapat, karena mereka sudah mencatat prestasi hebat di Olimpiade dengan membawa nama negara. Mereka juga telah memberi sedikit kegembiraan bagi rakyat, di tengah kecamuk pandemi.

Tapi, dari capaian kontingen Indonesia di Jepang, saya justru menyadari alasan, kenapa meraih medali emas Olimpiade adalah "one does not simply" bagi atlet Indonesia, karena semua memang serba sulit sejak awal.

Di saat atlet sibuk berlatih keras dan bertanding, sebagian petingginya justru terkesan cuek. Mereka hanya memasang target prestasi tinggi, tapi kadang lupa memberi dukungan memadai.

Saat prestasi akhirnya didapat, pujian memang datang bersama apresiasi. Tapi, inilah awal masalah baru.

Penyebabnya, ada juga yang memanfaatkan prestasi mereka untuk pansos, ditambah sorotan media dan warganet yang kadang bisa menjadi toxic, hanya karena sikap "overproud" yang kadang berlebihan.

Padahal, sebagai atlet, mereka tak boleh dibiarkan terlalu banyak disorot. Benar, mereka akan mendapat hadiah dan kesempatan berlibur, tapi setelahnya harus kembali berlatih keras, untuk menghadapi turnamen berikutnya.

Jika semua sorotan berlebih ini ternyata membuat sang atlet tak lagi bisa menikmati pertandingan dan tekanan yang ada, bukan ia yang layak disalahkan, tapi semua sorotan yang datang dan meracuninya hingga perlahan menjadi lemah.

Semoga semua kesulitan ini bisa lebih menguatkan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun