Tidak ada injury time, sekalipun ada yang keselek sampai termehek-mehek. Mirip lomba tujuh belasan.
Memang, saat sedang sangat buru-buru, orang bisa menelan sebutir bakso tanpa mengunyahnya. Tinggal digelontor kuah, beres, kecuali kalau baksonya berukuran sebesar bola tenis, seperti di lapangan tembak Senayan.
Oke, mungkin pemerintah ingin coba menghapus kebiasaan pamer makanan dan foto di restoran yang unfaedah. Durasi waktu dua puluh menit, sama-sama bisa membuat adrenalin penjual dan pembeli naik, seperti sedang dikejar deadline
Ini cukup bagus, karena makan jadi lebih fokus. Tak ada foto-foto, tak ada video. Kalau mau dibuat vlog, take away saja, ngevlog di rumah saja.
Penjual pun bisa belajar teknik masak dadakan. Jadi, bukan cuma tahu bulat saja yang bisa digoreng dadakan.
Mungkin, pembuat kebijakan ini paham betul, sebagian orang Indonesia punya mental deadliner alias suka mepet, dan punya jurus andalan "The Power of Kepepet" yang sudah tersohor.
Masalahnya, berhubung aturan "20 menit" ini punya sayap, saya ragu ini bakal berjalan dengan baik. Tahu sendirilah, Indonesia punya jam karet, yang konon katanya sudah mendunia, seperti Luffy Si Manusia Karet dari Jepang.
Kalau aturan ini tak diperjelas, restoran bisa jadi kambing hitam. Padahal, aturannya saja yang memang membingungkan.
Sekalipun para pelaku usaha restoran sudah berusaha tertib, gawat kalau konsumen yang bandel masih banyak.
Kemungkinan ini cukup terbuka, karena yang antimasker dan antivaksin saja banyak, apalagi yang cuma tidak tertib aturan.
Jangan lupa, di negeri berbunga ini, aturan masih dibuat untuk dilanggar. Jalanan disekat marka beton saja masih diterobos, apalagi cuma perkara durasi.