Atau, bisa juga ia merasa puas, kalau semua orang tahu, ia pernah mengunjungi berbagai tempat unik di penjuru dunia.
Saya jelas hanya bisa bilang "wow", karena kemampuan finansialnya memang jauh di luar jangkauan saya. Tapi, saya tak punya keinginan sedikitpun untuk menirunya, apalagi terobsesi dengannya.
Terlalu merepotkan jika semuanya harus saya ikuti, karena yang seperti itu jumlahnya cukup banyak. Lagipula, kami awalnya saling mengenal, bukan karena apa yang kami punya secara materi, atau bagaimana latar belakang keluarga masing-masing.
Jika hubungan baik itu bisa berlanjut, itu karena kami memang punya respek yang sudah bertahan lama.
Kalaupun ada pihak yang protes pada konten flexing mereka, saya tak berhak membela. Mereka seharusnya sudah cukup dewasa, untuk sadar dan paham pada semua jenis dampaknya.
Menariknya, hal ini sekaligus menunjukkan, "bahagia" sebenarnya adalah sesuatu yang relatif. Tak ada standar paten yang jelas tentangnya, karena ia terbentuk dari nilai dan lingkungan di sekitar.
Setiap orang punya standar nilainya sendiri, dan tak bisa dipukul rata. Meski standarnya tak sama persis, disitulah keseimbangan hadir.
Perbedaan ini bersifat konstruktif, karena dibiarkan berjalan pada treknya masing-masing. Tapi, semua itu bisa rusak, jika ada yang menyeragamkan standarnya secara paksa.
Jika standarnya terlalu tinggi, sifat kompulsif akan hadir, yang pada akhirnya menghasilkan keserakahan dan lupa diri. Di sisi lain, jika terlalu rendah, ia bisa menghasilkan mental kerdil, karena keadaan terlanjur melenakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H