Pemain pinggiran. Inilah sebutan yang kiranya pas, untuk menggambarkan bagaimana status Marko Grujic dan Taiwo Awoniyi di Liverpool.
Sebenarnya, mereka datang ke Anfield dengan modal menjanjikan. Awoniyi datang sebagai penyerang yang bersinar di Piala Dunia U-17 (2013) dan Piala Afrika U-20 (2015) bersama Timnas Nigeria.
Penyerang berpostur tinggi besar ini merupakan salah satu transfer terakhir Si Merah di era Brendan Rodgers. Meski kurang sukses di Piala Dunia U-20 tahun 2015, duetnya bersama Kelechi Iheanacho (kini di Leicester City) membuat Liverpool langsung bergegas memboyongnya dengan ongkos 400 ribu pounds dari Imperial Soccer Academy (Nigeria) tahun 2015.
Sementara itu, Marko Grujic menjadi transfer pertama klub di era kepelatihan Juergen Klopp. Atas rekomendasi Zeljko Buvac (asisten pelatih Liverpool saat itu), Grujic diboyong dari Red Star Belgrade dengan ongkos transfer 5 juta pounds di pertengahan musim 2015-2016, tapi ia baru mendarat di Inggris pada awal musim berikutnya, setelah menjalani sisa musim di Red Star sebagai pemain pinjaman.
Pemain yang bergaya main mirip Nemanja Matic ini dinilai berprospek cerah, karena duetnya di lini tengah bersama Sergej Milinkovic-Savic (kini di Lazio) sukses membantu Serbia juara Piala Dunia U-20 tahun 2015 di New Zealand.
Sekilas, baik Awoniyi maupun Grujic akan punya masa depan cerah di Merseyside, karena rekam jejaknya di level junior. Secara khusus, Grujic bahkan mampu membantu Red Star juara liga Serbia.
Tapi, harapan itu ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan. Keduanya lebih sering dijadikan pemain pinjaman, ketimbang bermain dengan klub raksasa Inggris. Meski sama-sama kekurangan menit bermain, alasannya tak sama persis.
Awoniyi menjalani kiprah sebagai pemain pinjaman, pada tahun 2015 sampai 2021. Pemain yang oleh publik Nigeria dinilai punya kemiripan dengan Rashidi Yekini (legenda Timnas Nigeria) ini terpaksa menjadi "musafir" karena tak mengantongi izin kerja di Inggris.
Tercatat, ia pernah bermain di Eredivisie Belanda (dipinjam NEC Nijmegen), Liga Belgia (dipinjam Mouscron dan Gent), dan Bundesliga Jerman (bersama Frankfurt, Mainz dan Union Berlin).
Saat di Union Berlin inilah, Awoniyi akhirnya mendapatkan izin kerja di Inggris. Sayang, kebersamaannya dengan Liverpool harus berakhir, Selasa (20/7), setelah klub Bundesliga itu mempermanenkannya dengan ongkos transfer 6,5 juta pounds.
Klub rival sekota Hertha Berlin memutuskan memboyong sang striker, karena dinilai tampil bagus musim lalu. Meski hanya mencetak lima gol, pemain yang tak sempat bermain bersama Liverpool ini sukses membawa klub lolos ke UEFA Europa Conference League, kompetisi antarklub Eropa kasta ketiga.
Beralih ke Grujic, gelandang berpostur tinggi besar ini sedikit lebih beruntung dari Awoniyi, karena sempat tampil 16 kali bersama The Kop di berbagai kompetisi dan mencetak satu gol.
Tapi, ketatnya persaingan di lini tengah The Anfield Gank, ditambah kedatangan Fabinho, Naby Keita, plus munculnya Curtis Jones dari tim junior, membuat kesempatan bermainnya menjadi terbatas. Kesempatan itu makin terbatas, setelah Thiago Alcantara datang di musim lalu.
Apa boleh buat, pemain Timnas Serbia ini harus rela dipinjamkan ke klub lain. Dimulai dari Cardiff City (klub kasta kedua Liga Inggris, paruh kedua musim 2017/2018) petualangan Grujic berlanjut di Bundesliga Jerman bersama Hertha Berlin.
Di Bundesliga, jebolan akademi Red Star Belgrade sebenarnya tampil konsisten, dan menjadi pemain kunci tim selama dua tahun bermain di sana (2018-2020). Rupanya, ini menarik minat FC Porto, yang lalu meminjamnya selama semusim.
Di klub raksasa Portugal itu, Grujic mampu tampil reguler, dan turut membantu tim lolos ke perempat final Liga Champions musim lalu. Alhasil, The Dragons lalu mempermanenkannya dengan ongkos transfer 10,5 juta pounds, Selasa (20/7).
Sekilas, Awoniyi maupun Grujic terlihat seperti transfer gagal di Liverpool.
Mereka gagal memenuhi ekspektasi awal, dan kesulitan tampil rutin di tim utama. Awoniyi bahkan sama sekali tidak bermain.
Tapi, berkat pengalaman dan progres positif keduanya selama dipinjamkan, mereka pada akhirnya selamat dari cap "gagal" karena mampu dijual klub dengan harga lebih mahal, bukan harga diskon seperti layaknya pemain gagal pada umumnya.
Di sisi lain, cerita kiprah Awoniyi dan Grujic di Liverpool sekali lagi menunjukkan, bukan nama besar klub yang dibutuhkan pemain muda untuk bisa terus berkembang, tapi kesempatan bermain. Semakin banyak kesempatan yang didapat, sekalipun sebagai pemain pinjaman, semakin besar ruang untuk berkembang.
Semakin bisa berkembang, semakin bagus. Jika kesempatan itu minim, bahkan tak ada, seorang pemain muda akan layu sebelum berkembang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H