Ada begitu banyak fakta, opini, atau perpaduan keduanya. Saking banyaknya, mungkin sudah tak terhitung lagi.
Inilah yang membuat sebagian orang merasa jenuh, dan mulai menyerukan boikot pada info seputar pandemi. Ini jelas kurang tepat, karena bisa mengurangi kewaspadaan terhadap bahaya virus Corona.
Masalahnya, jumlah informasi dan pemberitaan besar-besaran seputar pandemi memang sudah berada pada taraf menyeramkan. Tak ada cukup ruang bebas.
Menyalakan TV atau radio, mengakses internet atau membaca koran, berita soal pandemi mendominasi. Hiburan ada, tapi berkualitas alakadarnya.
Tak semua orang mampu menahan diri lebih lama, karena isi tabungan sudah terkuras selama lebih dari setahun terakhir, lagi-lagi karena imbas pandemi. Itu belum termasuk mereka yang sejak lama hidup serba pas-pasan atau bahkan berkekurangan.
Hasilnya, muncul kenekatan kolektif, yang membuat angka kasus baru dan kematian penderita COVID-19 relatif tinggi. Angka ini agaknya masih butuh waktu ekstra untuk bisa sampai ke tahap "aman", karena terlalu banyak informasi yang justru menyesatkan.
Mungkin, inilah kenapa anekdot "darurat membaca" di Indonesia masih saja relevan. Membaca memang masih kalah membudaya ketimbang berkomentar.
Setelah sebelumnya sempat menuai efek negatif akibat malas membaca, dan memilah informasi di beberapa kesempatan, masalah ini kembali hadir, dan jadi satu alasan, mengapa penanganan pandemi Corona di Indonesia masih saja berlarut-larut.
Melihat kerusakan yang sudah dihasilkan karenanya, agaknya edukasi soal literasi perlu digarap dengan serius sejak usia dini. Supaya, masalah serupa bisa dicegah, karena memang sudah dibudayakan dan membudaya.
Punya banyak informasi memang menyenangkan, tapi jika tak dipilah dengan baik, dan dibatasi secara wajar, ia tak ubahnya sepanci bakso kuah yang dimakan sekaligus oleh satu orang: tak menghapus lapar atau mengenyangkan, tapi justru terasa sangat menyiksa.