Ini jauh lebih serius dari masalah pekerjaan. Ada tetangga, teman, dan kerabat yang satu persatu pergi mendadak. Ada banyak rasa kehilangan dan kesedihan, tanpa pernah bisa bersua untuk terakhir kalinya.
Kejutan itu makin terlihat brutal, karena masih ada saja manusia berjiwa ajaib. Entah itu pembesar yang masih hidup berleha-leha di tengah derita banyak orang, atau mereka yang merasa diri paling benar.
Aku tak sanggup untuk marah atau mencaci maki sekuat orang lain. Tubuh ini sudah terlalu renta untuk itu, meski mereka layak mendapatkan.
Tapi, disinilah kopi memberiku ruang. Tanpa harus mabuk-mabukan atau yang lainnya, semua masih dalam jangkauan.
Inilah yang membuatku tak bisa berpaling darinya. Warnanya yang pekat, rasanya yang tetap kuat walau dicampur macam-macam, dan kehadiran nyaris tanpa alpa, menjadi satu keajaiban, karena ia selalu bisa menemani dengan sama baiknya, di saat susah maupun senang, tenang maupun tegang.
Aku bersyukur karena dia ada di saat semua serba tak pasti. Entah apa jadinya kalau aku tak pernah mengenalnya.
Mungkin, inilah alasan mengapa aku tak pernah jauh darinya. Dalam pahit dan masamnya, atau manis dan segarnya, ia selalu istimewa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H