Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pilu

6 Juli 2021   12:01 Diperbarui: 6 Juli 2021   12:33 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu harus beraktivitas di luar, olahraga, bergerak, keluar rumah."

Itulah saran yang berkali-kali kudengar, tapi tak pernah kuikuti. Bukan karena malas, aku hanya mencoba untuk berhati-hati, karena pagebluk sedang menggila.

Aku hanya berusaha tertib semampuku, karena pernah mengalami sendiri, bagaimana hidup bersama pagebluk di ibukota, tempat dimana pagebluk mengamuk paling ganas di negeri ini.

Masih terngiang di ingatanku, betapa ngerinya suasana di sana. Ada aturan, tapi yang melanggar lebih banyak dari yang mentaati. Ada banyak nyawa melayang, dan banyak rumah sakit kewalahan.

Pengalaman itu terlalu mengerikan untuk ditoleransi, apalagi setelah ada kerabat yang meninggal karenanya. Dengan kondisi tubuh yang lemah dan memang pernah ambruk karena terkena demam berdarah, aku memilih untuk berusaha sehati-hati mungkin.

Saat akhirnya harus pulang ke Kota Klasik pun, aku benar-benar menimbang semuanya dengan matang, tetap berusaha tenang walau sedang genting, dan mensinkronkan segalanya.

Aku ingat, mereka pernah menyebutku aneh dan terlalu santai, padahal akulah yang berada di area paling gawat. Kulihat semuanya, kutimbang, dan kuputuskan, sambil dalam hati terus berdoa.

Apa yang terjadi?

Semua berjalan lancar dan serba tepat. Aku bisa membereskan semua tugas, berpamitan dengan semua orang, dan pulang dengan selamat bersama oleh-oleh pampasan perang. Sebuah berkat luar biasa, yang membuat takjub semuanya, termasuk mereka yang meragukanku.

Saking takjubnya, aku ingat, mereka semua kompak berkata,

"Kamu beruntung sekali. Seperti benar-benar dituntun dari atas."

Mereka seperti lupa, dengan keraguan yang mereka lempar, bersama semua label buruk yang mereka pasang.

Setelahnya, pagebluk ternyata masih mengamuk, bahkan lebih seram dari sebelumnya. Makin banyak orang yang sakit dan meninggal, seperti halnya mereka yang menganggap remeh.

Seperti sebelumnya, aku kembali berusaha hati-hati, tapi kembali diremehkan. Bukan hanya itu, aku diminta untuk berbagi, dalam versi yang diluar jangkauanku. Sebuah perintah yang sama, dengan yang kudapat saat di ibukota dulu.

Aku masih ingat, saat dulu kondisi sedang menggila, mereka yang memberiku perintah itu, tanpa melihat situasinya, dan menganggapku pelit. Menyakitkan.

Alih-alih menurut, aku malah mengembalikan perintah mereka. Sebelum pulang, aku memberikan alat pembersih debuku kepada penjaga kost. Mereka tampak senang sekali, karena sapu di sana sering hilang tanpa bekas.

Sebenarnya, bisa saja itu kubawa pulang. Aku membelinya sendiri, tapi aku memilih tidak melakukannya, karena aku sadar, inilah kesempatanku untuk memberi, walaupun seadanya.

Situasi itu kini kembali datang, saat aku masih mengobati luka akibat masa sulit itu. Jujur saja, ini membuatku marah. Dulu, aku mati-matian berhemat demi mengikuti kemauan mereka, tanpa mengorbankan kebutuhan hidup dan  menabung. Sendirian.

Saat situasi jadi sulit karena pagebluk, aku hanya dibiarkan bertarung sendirian, menghadapi bahaya sampai babak belur, dengan mereka hanya memberi solusi jalan buntu. Saat aku berusaha menjaga diri, kata-kata menyakitkan berulang kali terlontar.
 
Tak bolehkah aku memulihkan diri?
Tak bolehkah aku menjaga diri?

Aku memang bisa bertahan dari semua keanehan ini, sampai narasi soal memberi, dengan skala yang kurang wajar. Buat apa?

Semua keanehan ini akhirnya membuatku meledak. Kubeli segelas coklat di sore hari, yang ternyata jadi obat tidur ampuh. Aku terlelap sejenak, sama seperti saat menenggak secangkir kopi hitam tanpa gula.

Saat aku bangun, semua terasa lebih ringan. Melegakan. Andai aku menambahkan rum di sana, aku pasti akan terlelap sampai pagi.

Tapi, aku lalu menangis pilu bersama diriku sendiri. Kami menangis, karena luka terus saja datang, saat luka sebelumnya baru selesai diobati.

Benar, ini terlalu menyakitkan dan melelahkan. Di masa sulit begini, aku hanya ingin berusaha untuk tetap waras. Sederhana saja.

Pagebluk, pulang, dan semua keruwetan ini memang membuat kesal. Entah kapan waktunya, tapi semoga ini akan berakhir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun