Bicara soal menulis, konsentrasi menjadi satu elemen penting dalam proses eksekusi dan merangkai ide menjadi tulisan. Maklum, ide kadang suka datang dan pergi seenaknya.
Ditambah lagi, jumlahnya kadang lebih banyak dari dugaan. Terutama, jika sudut pandang sudah mulai menemukan sesuatu yang dirasa menarik untuk dibahas.
Jadi, kadang ada yang harus dipilih dan dipilah, sebelum akhirnya diolah menjadi tulisan. Jika idenya hanya ada satu, tinggal konsentrasi saja.
Masalahnya, kadang ada saja gangguan yang kadang membuyarkan konsentrasi. Misalnya, suara bising di sekitar tempat kita menulis, apapun bentuknya.
Jika konsentrasi buyar dalam kondisi hanya punya satu ide, semua bisa macet, bahkan berantakan. Akibatnya, apa yang ingin ditulis urung menjadi tulisan.
Kebetulan, itu saya alami hari ini, saat sedang iseng mengikuti webinar, yang diadakan sebuah komunitas traveling. Topiknya menarik, karena ada hal yang bisa dieksplorasi dan dirangkai menjadi satu tulisan.
Apes, suasana di rumah mendadak gaduh. Saling gaduhnya, memakai earphone pun tak mempan. Konsentrasi pun buyar, dan ide itu pergi entah kemana.
Untungnya, webinar tetap bisa diikuti, dan ada ide pengganti yang mendadak muncul, seperti sebuah "blessing in disguise", karena memang muncul di tengah masalah.
Benar, ide kadang terlihat seperti bola yang bisa tiba-tiba datang. Ia bisa digocek, dioper, disundul, atau ditembak semau kita, selama berada dalam jangkauan.
Jika hilang, tak ada yang bisa dilakukan, tapi jika ternyata datang lagi seperti bola liar, maka perlu segera dibereskan, karena entah kapan bisa bertemu lagi dengannya.
Di sisi lain, seperti halnya menulis, konsentrasi saat menulis pun tak selalu berkaitan dengan faktor "kekuatan", tapi lekat dengan rasa nyaman. Jika rasa nyaman itu ada, konsentrasi akan lebih bagus, dan tulisan yang ingin dibuat akan terwujud dengan lancar.