Aku sudah menyiapkan yang bisa kusiapkan. Jadi, saat aku pergi, penggantiku hanya tinggal melanjutkan. Sesederhana itu.
Tapi, apa yang terjadi justru sebaliknya. Semua jadi terlihat rumit, bahkan membuatku harus sedikit mengarahkan, kepada siapa penggantiku ini harus berkoordinasi. Rasanya aku seperti orang mati yang arwahnya dipanggil lagi sebentar, hanya untuk memberi wangsit.
Aku sudah menyerahkan semua yang memang milik mereka, dan mempersiapkan mitra yang bisa membantu, meski bekerja dari luar. Mereka punya pengalaman di bidangnya, dan tim yang seharusnya bisa membantu.
Tapi, setelah tiga bulan berlalu, ternyata situasi jadi kembali seperti masa sebelum aku datang.
Situasi ini sempat membuatku serasa jadi sampah. Aku mengerjakan semua yang bisa dikerjakan, tapi itu semua ternyata sia-sia. Perih.
Aku tak tahu bagaimana jalan berpikir mereka. Mewariskan tempat yang rusak berat, terbengkalai dan berantakan, untuk bisa dibangun megah dalam semalam, tapi tempat itu selalu dirusak setiap kali mulai dibangun atau dibersihkan.
Kalau begitu terus, seorang ahli dengan pengalaman seribu tahun di bidangnya sekalipun akan jadi terlihat seperti amatiran. Tidak, mungkin lebih buruk lagi.
Untuk saat ini, aku bukan siapa-siapa. Hanya perlu duduk manis melihat semuanya dari luar, dan berhak untuk tidak peduli, karena semua itu memang sudah bukan tanggung jawabku lagi.
Aku punya kehidupan dan berhak atasnya. Pagebluk memang sedang kembali menggila, tapi bukan berarti orang boleh kehilangan akal sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H