Ketika para pesohor akhirnya datang, memang ada sedikit harapan, karena klub akan bisa lebih mandi. Masalahnya, tinggal apakah mereka punya orientasi instan atau tidak.
Jika punya, maka klub akan berada dalam tekanan besar untuk menang. Sekali gagal, klub bisa saja ditinggal pergi. Kebetulan, tekanan ini antara lain terlihat di Persis Solo, dengan Kaesang mematok target promosi ke Liga 1.
Jadi, teka-tekinya hanya soal bagaimana kelanjutan nasib klub, jika target yang ditetapkan gagal tercapai. Kalau berhasil, semua sudah tahu, karena memang sudah ditetapkan.
Sebaliknya, jika sang pemilik klub punya orientasi proyek jangka panjang, klub dan pecinta sepak bola nasional bisa sedikit berharap, akan ada perbaikan dan pembenahan, karena pola pikir yang diterapkan sudah lebih sehat dari sebelumnya.
Di sini, pertanyaannya tinggal seberapa serius komitmen mereka dalam merealisasikan ide-ide besar di klub masing-masing. Sebagai contoh, apakah Raffi Ahmad dan mitranya akan serius menggarap akademi klub mereka, dan membinanya secara kontinyu atau tidak.
Selebihnya, tren yang baru muncul ini akan lebih banyak dilihat sebagai suatu pembelajaran bagi para pesohor dan profesional yang juga ingin terlibat di sepak bola nasional. Dari kiprah Kaesang, Raffi Ahmad, Gading Marten, dan Atta Halilintar, mereka akan melihat, "do and don't" beserta segala plus-minus dalam mengelola klub sepak bola di Indonesia.
Jika akhirnya berdampak positif, rasanya akan ada lebih banyak lagi pesohor dan pebisnis yang akan ikut mengelola klub. Jika ternyata sama saja, bahkan lebih parah, tren ini hanya akan bertahan seumur jagung, karena mereka hanya memanfaatkan klub sepak bola sebagai medium untuk mendapat perhatian publik, sama seperti yang sudah-sudah.
Selebihnya, biar waktu yang menunjukkan semuanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H