Hari ini aku ingin bercerita kepadamu, soal "rumah biru" tempatku menitipkan tulisan. Sebelumnya, aku sudah banyak mendengar cerita soal mereka yang datang dan pergi.
Ada yang datang tanpa rencana sepertiku, ada juga yang datang dengan setumpuk rencana. Ada yang datang dengan sejuta harapan, tapi ada juga yang tidak.
Aku sendiri menjalani semuanya di sini, jauh sebelum berangkat merantau, sampai akhirnya harus kembali gegara pagebluk, dan entah sampai kapan.
Aku ingat, semua dimulai dari rasa sukarela. Tak berpikir soal uang, hanya ingin memuaskan kebutuhan untuk "didengar" tanpa harus berdebat kusir.
Bagiku, ini berkat yang menyelamatkan. Untuk pertama kalinya, sejak Opa berpulang, aku bisa menyuarakan isi hati dan pikiran sampai tuntas.
Kelihatannya sepele, tapi ini sangat berharga buatku. Di lingkungan yang hampir selalu menuntutku untuk jadi pendengar, aku punya satu kesempatan untuk mengosongkan, atau setidaknya mengurangi isi gelas yang nyaris luber.
Memang, rasanya masih belum sebanding dengan saat mengobrol bersama Opa dulu: bisa saling mendengar dan didengar secara langsung. Tapi, aku bersyukur karena bisa berada di rumah ini.
Karenanya, aku tak pernah berekspektasi lebih soal uang dan ketenaran di sini. Kadang, aku ikut lomba atau sejenisnya, tapi hanya untuk meramaikan. Dapat ya syukur, tak dapat ya sudah. Namanya juga iseng.
Tapi, aku tetap harus berterima kasih, karena di rumah inilah kutemukan jalan untuk melangkah. Ada sedikit rupiah yang masuk, tapi terus dikumpulkan, sehingga bisa jadi modal merantau.
Dari sini juga, aku bisa bertemu dengan banyak orang dan hal-hal baru, seperti komunitas yang melintas batas, bahkan ikut berpartisipasi di beberapa acara kopi darat.