Di Chelsea, ada Thiago Silva yang mengalami cedera otot karena salah tumpuan saat membuang bola. Akibatnya, bek Brasil ini terpaksa diganti dengan Andreas Christensen.
Sementara itu, City punya Kevin De Bruyne yang terpaksa harus diganti oleh Gabriel Jesus, setelah dilanggar keras oleh Antonio Rudiger. Akibatnya, bintang Timnas Belgia itu sempat terkapar di lapangan, dan cedera ini akan membuat pelatih Timnas Belgia ketar-ketir, karena Euro sudah dekat.
Boleh dibilang, final Liga Champions kali ini hanya menyenangkan bagi fans Chelsea, meski pada prosesnya mereka dibuat deg-degan karena Si Biru bermain sangat bertahan. Sekilas ini mirip dengan final 2012, saat satu serangan tinggal mereka berbuah gol dramatis Didier Drogba. Bedanya, kala itu mereka tertinggal lebih dulu.
Di sisi lain, City juga tak layak menyebut diri sebagai "juara tanpa mahkota", karena mereka tak melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Ruben Dias dkk malah terhanyut dalam skenario buatan Chelsea, sebelum tenggelam dalam kekalahan.
City bisa saja mengkritisi gaya main Chelsea sebagai sebentuk sepak bola negatif, tapi mereka juga pantas dikritik, karena tak mampu berbuat banyak untuk mencetak gol. Jangankan mencetak gol, membuat tembakan ke gawang saja sudah sangat kesulitan.
Tapi, pada akhirnya, sebuah pertandingan selalu berbicara tentang hasil akhir. Berhubung hasil akhir berpihak pada Chelsea, ucapan selamat tetap berhak diberikan, karena mereka mampu membawa pulang trofi Liga Champions ke London.
Memang, seburuk apapun caranya, kemenangan tetaplah kemenangan, karena mereka tahu persis apa yang harus dilakukan: menang, apapun caranya. Suka atau tidak, pemenang akan tetap diingat sebagai pemenang, sekalipun ada "juara tanpa mahkota" yang tampil luar biasa bagus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H