"Bagi sebagian orang, itu adalah bagian dari memori indah, tapi bagi sebagian yang lain, itu adalah satu masa sulit nan pahit."
Inilah kalimat yang merangkum satu masa, saat aku tinggal di Kota Klasik. Keduanya kadang berpadu, jadi tetap ada sedikit keindahan di tengah masa sulit, seperti halnya sedikit rasa manis di secangkir kopi hitam nan pekat.
Aku ingat, rasa pahit itu datang, dari ulah para perundung semasa sekolah dan selepas kuliah. Walau pelakunya hanya segelintir orang, aku tetap butuh sedikit waktu waktu untuk pulih dan memaafkan.
Selepas kuliah, aku kembali bertemu perundung lain. Mereka meminjam dan membawa lari uangku, tapi malah menerorku, sebelum akhirnya pergi tanpa jejak.
Mereka baru berani muncul beberapa tahun kemudian, saat aku sudah hidup di perantauan. Dengan enaknya, mereka memintaku untuk tak marah, setelah mengungkit-ungkit masalah yang sudah aku lupakan dan relakan.
Aku jelas berhak untuk marah. Dulu, semua memori itu membuat rasa nyamanku terkikis. Inilah yang membuatku mantap memilih untuk pergi, dan tak merasa terasing di perantauan.
Jujur saja, saat aku memilih pergi, tak ada secuil pun rasa kehilangan. Aku hanya seorang pesakitan, pelengkap derita. Tak akan ada yang akan merasa kehilangan, walau aku pergi.
Semua memori pahit itu seperti mengajakku kilas balik, karena mereka bermunculan satu persatu sejak pagebluk memaksaku pulang. Di dunia maya, aku banyak melihat, para perundung itu terlihat bisa hidup dengan sangat bahagia, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Setelah semua yang mereka lakukan, dan kepahitan yang kutanggung nyaris sendirian, kebahagiaan yang mereka tampilkan benar-benar membuatku terlihat seperti orang tolol, akibat semua rasa pahit itu.
Semua itu terasa menyakitkan buatku, dan membuatku ingin pergi dari sini, setidaknya sekali lagi. Hanya dengan melihat, aku sudah merasakan lagi kepedihan itu. Kepedihan yang muncul dari rasa sakit berkepanjangan.
Itu semua membuatku punya sedikit naluri pemberontak. Aku jadi terlihat berbeda, meski dari luar memang sudah berbeda.