Dear Diary,
Ini periode lebaran kedua di masa pagebluk. Situasinya belum benar-benar aman, karena pagebluk masih belum bisa dijinakkan.
Tapi, ada satu rasa jengkel yang sama di dua momen ini, meski situasinya agak berbeda. Tahun lalu, aku memilih bertahan sendirian di ibukota, karena tak kebagian tiket kereta sejak bulan Februari.
Di satu sisi, aku bersyukur karenanya. Aku ingat, gara-gara pagebluk, semua perjalanan dengan kereta api dibatalkan.
Semua orang kerepotan mengurusnya, termasuk penjaga kost ku. Dia harus repot-repot antri di stasiun sepanjang hari, selama beberapa hari beruntun.
Untuk pertama kalinya, lebaran terasa begitu tenang. Ketenangan itu semakin menyenangkan, karena ada seporsi besar lontong sayur dari pemilik kost, yang kujadikan menu makan selama sehari penuh. Momen sederhana yang begitu berharga.
Bagiku, ini berkat, yang sayangnya sekaligus jadi masalah. Orang tuaku menganggap keputusanku waktu itu sangat tak masuk akal, dan menganggap pagebluk sebagai alasan belaka.
Tentu saja aku jengkel, bahkan sangat tersinggung karenanya. Mereka sama sekali tak membantu, malah hanya menyudutkan, tanpa paham bagaimana situasi. Memalukan sekali.
Tahun berikutnya, saat aku sudah kembali, ternyata pagebluk masih belum jelas akhirnya. Di beberapa negara, kasusnya bahkan makin menggila.
Saat pemerintah memutuskan "dilarang mudik jauh maupun dekat", semua sudah jelas. Duduk manis di rumah, jangan kemana-mana, sama seperti tahun lalu.
Tapi, entah kenapa, orang tuaku malah bersikeras mengajak pergi ke desa. Aku enggan ikut, walau akhirnya terpaksa ikut juga, demi menghindari konflik tak penting.