"Untuk lebaran besok, berikanlah uang untuk melengkapi hadiah lebaran dari keluarga kita. Lebaran nanti kita akan pergi ke desa."
Itulah perintah yang kudapat dari ayah, dan secara halus kutolak.
Bukan bermaksud kikir, pelit, atau semacamnya. Aku hanya ingin mengingatkan, bagaimana kondisiku belakangan ini, khususnya sejak pagebluk datang.
Aku masih ingat betul, pagebluk mendatangkan potongan gaji cukup brutal sejak bulan ketiga, yang disepakati bersama sebagai hutang gaji dari perusahaan, situasi itu terus berlangsung sampai semua terpaksa harus berakhir di akhir bulan kedelapan.
Waktu itu, aku bertahan di ibukota sampai penghujung tahun, dengan bertahan dari magang ke magang, dan kerja sampingan, meski saldo minus sepanjang musim kemarau.
Aku hanya bisa bersyukur, karena semua masih baik-baik saja. Sebungkus nasi uduk tanpa lauk, atau nasi putih dengan lauk sambal kadang menemani hariku.
Kadang, aku juga sangat bersyukur, karena ada saja bantuan datang, meski itu tak datang dari rumah sendiri.
Ada yang berbaik hati memberikan makanan, tanpa aku pernah meminta. Ada juga warung yang kadang berbaik hati memberikan tambahan lauk atau sambal. Terlihat sederhana, tapi sangat membahagiakan.
Ini sangat kontras dengan yang kudapat dari rumah sendiri. Mereka hanya memintaku pulang, pulang, dan pulang, tapi tanpa kejelasan nasib dan situasi, apalagi bantuan.
Aku paham, mereka mengkhawatirkan keadaanku, tapi kekhawatiran itu serasa sebuah ejekan buatku, karena aku mereka anggap tak akan menang melawan keadaan ini. Mereka juga melihat keputusan untuk bertahan hanya keputusan bunuh diri.
Cara pandang ini membuatku marah, dan membulatkan tekad untuk bertahan, setidaknya sampai semua urusan beres. Aku hanya tak ingin jadi pengecut, karena tak bertarung sampai akhir.