Cerita ini sempat saya hapus sejenak, saat saya pergi merantau ke Jakarta selama kurang lebih dua tahun. Saat imbas pandemi memaksa saya kembali, saya dibuat terkejut, karena meski suasananya tak segaduh dulu, cerita kurang baik tentang mereka masih saja ada, bahkan semakin parah.
Disebut demikian, karena belakangan saya mendengar, gaya hidup konsumtif mereka selama ini  telah menghasilkan tumpukan hutang cukup besar. Rumah mereka bahkan sampai ditawarkan kesana-kemari, demi menghindari sitaan bank.
Rasanya ironis, karena rumah mereka berukuran paling besar di lingkungan kami, dan mereka pernah gonta-ganti mobil. Dua hal ini tampak mereka banggakan, meski jadi sumber masalah berupa tumpukan hutang akibat konsumerisme, dan sedikit arogansi.
Di sini, saya sampai berseloroh kepada orang tua saya, "Sudah saya tinggal pergi dua tahun ke Jakarta, ternyata mereka masih begitu-begitu saja.". Saya sendiri sampai bertanya-tanya, ngapain aja mereka selama ini?
Saya sendiri tak tahu persis, apa yang membuat mereka begitu konsumtif, tapi ironisnya malah memposisikan diri lebih tinggi dari yang lain, sebelum akhirnya terjebak dalam situasi rumit seperti itu.
Satu hal yang pasti, selain berperan sebagai "saudara terdekat", tetangga kadang bisa jadi tempat bertukar informasi yang hebat. Entah dapat ilmu dari mana, para tetangga bisa membuat dinding rumah pun seperti bermata dan bertelinga. Sebuah rasa aman yang unik, karena semua saling menjaga.
Berhubungan dan bersikap baik dengan tetangga memang akan membuat suasana jadi menyenangkan, tapi jika hubungan dan sikap itu buruk sejak awal, apalagi perilakunya kurang baik, suasana pasti akan menjengkelkan, karena selalu ada hal yang bisa diributkan atau dipergunjingkan.
Selebihnya, tinggal mana yang akan kita pilih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H