Bicara soal target hidup, banyak orang yang pasti punya daftar "list to do" di pikirannya. Ada yang punya target menikah di usia tertentu, punya jabatan tinggi di perusahaan raksasa di usia muda, dan entah apa lagi.
Semuanya memang wajar, dan bisa jadi penggerak untuk lebih semangat. Semangat bekerja, semangat mempercantik diri, bahkan membuat perencanaan sebegitu rupa.
Sayangnya, hal itu tak sepenuhnya berlaku pada diri saya. Saya hanya pernah punya satu target: lulus kuliah dalam masa studi kurang dari lima tahun, yang untungnya bisa terwujud, walau harus dibayar dengan kelelahan fisik dan mental yang luar biasa.
Selebihnya, hanya kesialan demi kesialan yang datang. Ditolak seleksi masuk kerja karena alasan fisik, kena tipu saat coba berbisnis, dan kena PHK massal gara-gara imbas pandemi.
Ditambah lagi, ada momen terjebak "friend zone", yang sialnya terjadi beberapa kali. Sebagian besar berlanjut ke tahap "ghosting", dan pada akhirnya saya terjebak dalam situasi "habis manis sepah dibuang".
Apa boleh buat, saya pun memilih untuk tidak pasang target atau punya mimpi setinggi kebanyakan orang. Hanya perlu menjalani. Saat kesempatan datang, saat itulah boleh bergerak.
Bukan pesimis, tapi realistis, karena keadaan biasa tampil tanpa kompromi. Tak ada cukup belas kasihan, di kehidupan modern yang mulai kehilangan sisi welas asih.
Mungkin, ini terdengar suram, tak ada harapan, tapi setidaknya ini tidak toxic, karena tak ada perasaan "gagal" atau rasa bersalah berlebih pada diri sendiri, akibat target yang gagal tercapai.
Kalaupun ada momen pahit, tetap ada waktu untuk kilas balik sebelum move on, tanpa ada penyesalan terlalu banyak. Momen ini bisa dimaafkan bersama jalannya waktu, walau belum tentu bisa dilupakan begitu saja.
Semua momen pahit itu membuat saya menyadari, sebuah target seperti dua sisi mata uang: bisa sangat membahagiakan saat terwujud, sekaligus sangat menyakitkan saat gagal terwujud.
Semakin tinggi sebuah target, seharusnya semakin besar kesiapan untuk menanggung rasa sakit saat itu tidak tercapai. Mereka yang pasang target tinggi, seharusnya sudah siap untuk segala kemungkinan.
Jika tidak, dampaknya bisa sangat mengerikan. Kita tentu sudah banyak melihat, seberapa banyak tragedi yang muncul karena "siap berhasil, tapi tidak siap menerima kegagalan.".
Meski dari luar terlihat konyol, bisa jadi rasa sakit yang ditanggung si penderita begitu berat. Andai dia tahu kapasitas diri dan siap menerima segala kemungkinan, mungkin semua akan baik-baik saja.
Karenanya, saya memilih untuk tidak pasang target tinggi atau sejenisnya. Saya sudah pernah mengalami rasa sakit semacam itu, dan tak ingin bertemu dengannya lagi.
Apalagi, jika hal-hal yang diimpikan itu bersifat seperti "karunia", macam kesuksesan atau ketenaran. Hal-hal semacam ini bisa diupayakan pada batas tertentu, tapi belum tentu akan datang.
Kadang, karunia semacam ini justru datang kepada mereka yang menghindarinya. Tak ingin disorot, tapi selalu dekat dengan sorotan. Jadi, hal-hal semacam ini sulit diprediksi, karena memang berada di luar kendali.
Jadi, saya merasa lebih nyaman hidup tanpa target muluk apapun, karena dengan begitu saya tidak akan menyakiti diri sendiri dan membohongi orang lain.
Lebih baik mengalir dan menjalani semuanya satu persatu, supaya saat semua berakhir, tak ada rasa penasaran yang tersisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H