Aku ingat, ada begitu banyak hal beracun yang kutemui setelah pulang. Ada cara pandang sangat ekstrem yang menyesakkan, karena itu membuatku pernah kesusahan saat hidup di dunia luar.
Ada juga obsesi berlebihan pada kesehatan tubuh, tapi mengabaikan kesehatan jiwa. Sakitnya orang lain seolah dianggap sebagai satu kemenangan, selagi pagebluk membuat semua makin menjengkelkan.
O ya, ada juga sikap pamer berbungkus rasa syukur, yang membuatku muak. Berdoa dan bersyukur agaknya sudah mati di kehidupan nyata. Mereka kini hidup di ruang pameran.
Benar, ini sangat melelahkan untuk diikuti. Aku sadar, aku hanya perlu diam, tak melakukan apapun. Tutup mata, tutup telinga, seperti sikap Kumbakarna pada Rahwana.
Aku tidak malas, aku hanya menyadari, semua yang kulakukan dianggap tak ada gunanya, tak ada yang benar. Jadi aku memilih tidak melakukan apa-apa.
Di ruang gelap yang terkungkung ini, aku hanya seorang pesakitan, yang dipaksa pulang karena pagebluk, dan harus menghadapi jalan buntu, dalam perasaan terbuang dan terlupakan yang menyakitkan, bersama kemunduran demi kemunduran.
Andai aku mati, mungkin tak ada yang akan merasa kehilangan. Siapa aku? Aku hanya seorang pesakitan.
Aku ingin membebaskan diri, sebelum nantinya pergi dengan perasaan lepas. Entah kapan saat itu tiba, tapi aku akan sangat merindukannya, karena ada rasa bahagia di sana. Rasa utuh sebagai seorang manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI