Melalui situs resmi masing-masing, dua belas klub sepakbola populer di Eropa pada Minggu (18/4, waktu Eropa) membuat pernyataan bersama untuk mengumumkan kesepakatan membentuk kompetisi tengah pekan yang baru, Liga Super Eropa (ESL), dengan dukungan dana dari JP Morgan, perusahaan raksasa finansial asal Amerika Serikat.
Dua belas klub yang terdiri dari AC Milan, Arsenal, Atletico Madrid, Chelsea, Barcelona, Inter Milan, Juventus, Liverpool, Manchester City, Manchester United, Real Madrid dan Tottenham Hotspur semuanya bergabung sebagai Klub Pendiri ESL.
Liga ini bersifat "break-away league", karena secara struktural tak berada dalam kontrol FIFA atau UEFA. Mirip dengan kasus IPL dan ISL di sepak bola nasional sedekade silam.
Hanya saja, ESL dihadirkan sebagai kompetisi Liga Champions versi tandingan. Tujuannya, untuk menggantikan Liga Champions, yang dianggap sudah usang, meski terlihat gemerlap.
Sebenarnya, jika melihat prospek pemasukan yang didapat, ESL terlihat seperti "sinterklas" bagi para klub di atas, khususnya dalam periode sulit akibat imbas pandemi seperti sekarang.
Maklum, dalam proyek yang antara lain diinisiasi oleh Florentino Perez (presiden klub Real Madrid) dan Andrea Agnelli (Juventus) ini, semua klub peserta akan mendapat total hadiah partisipasi sebesar 6 miliar pounds.
Jadi, jika ada 20 klub yang berpartisipasi, mereka akan dapat 300 juta pounds, belum termasuk bonus-bonus lainnya. Jumlah ini jauh lebih besar, dari hadiah tim juara Liga Champions, yang berkisar di angka 100 juta pounds.
Masalahnya, kedua belas klub ini memutuskan untuk ikut berpartisipasi secara sepihak. Dalam artian, kesepakatan yang dicapai adalah kesepakatan di tingkat pimpinan klub, tanpa sepengetahuan pemain, suporter, dan koordinasi elemen kunci lainnya, termasuk UEFA dan FIFA selaku organisasi induk.
Akibatnya, segera setelah dideklarasikan, gelombang protes pun bermunculan dari berbagai penjuru. Mereka umumnya menganggap, proyek ESL ini adalah satu keserakahan, dan klub yang terlibat sudah "lupa diri", karena bukan Liga Super yang membuat mereka besar, tapi dukungan suporter dan proses yang selama ini sudah dijalani di lapangan, mulai dari kekalahan atas tim medioker sampai kemenangan atas tim besar.
UEFA dan FIFA pun turun tangan, dengan langsung memberi ancaman larangan bermain di Piala Eropa dan Piala Dunia, plus skorsing tanpa batas waktu kepada pemain dan pelatih yang terlibat.
Entah kebetulan atau bukan, secara bersamaan UEFA juga merilis format baru kompetisi Liga Champions, yang dibarengi dengan pertambahan jumlah klub peserta menjadi 36 klub. Format ini akan berlaku mulai tahun 2024 mendatang.
Rupanya, respon keras dari berbagai penjuru ini akhirnya berbuah manis. Hanya berselang dua hari, semua klub peserta, kecuali Real Madrid dan Juventus, kompak menarik diri.
Melalui situs resmi masing-masing klub, mereka juga permohonan maaf resmi kepada suporter. Akibatnya, proyek Liga Super Eropa yang ambisius itu pun resmi ditunda.
Tentunya, ini jadi satu kabar melegakan, karena klub masih ingat, karena dan untuk siapa mereka ada, hingga jadi sebesar sekarang.
Di sisi lain, kasus ini menjadi satu evaluasi serius bagi UEFA (bersama FIFA dan federasi nasional) untuk bisa lebih transparan soal keuangan, dan rutin memperbaiki mutu kompetisi.
Jika tidak, kasus serupa bisa terjadi lagi, dengan daya rusak yang bisa jadi lebih parah, terutama jika konsep "kompetisi tandingan" yang hadir ternyata lebih matang dan berkualitas.
Menariknya, ESL, yang hanya berumur dua hari, sehingga layak untuk dianggap sebagai sebuah lelucon, justru menjadi satu momen penegasan: di era industrialisasi sepak bola, popularitas dan uang memang punya panggung besar, tapi tanpa dukungan suporter, semua itu tak ada artinya, layaknya semangkuk bakso tanpa bakso.
RIP European Super League.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI