Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tragedi

6 April 2021   00:19 Diperbarui: 6 April 2021   00:25 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah setahun sejak pagebluk datang, dengan membawa masalah demi masalah. Aku masih ingat, bagaimana semua jadi terasa menyakitkan.

Mulai dari gaji yang tiba-tiba ditawar sampai nol rupiah, sampai THR yang belum dibayar, semua jadi kenyataan pahit buatku. Aku ingat betul, seberapa sering aku makan nasi putih atau nasi uduk polos hanya berlauk sambal.

Bukan masalah, karena aku bersyukur masih bisa makan.

Di saat bersamaan, bos tetap bisa jalan-jalan, makan enak, dan membuat kesan semua baik-baik saja. Seperti menari di atas penderitaan orang lain.

Saat keadaan kian memburuk, aku jadi salah satu orang yang harus rela menerima kenyataan pahit, hanya beberapa hari sebelum tanggal gajian.

Sebenarnya, aku sudah mencium gelagat tak beres sejak akhir tahun. Semua terlihat kacau dan panik. Sebenarnya, aku sudah mulai bergerak mencari peluang lain, sayang, pagebluk keburu datang.

Setelahnya, aku sempat terlunta-lunta. Aku bertahan dengan hanya berpegang pada tabungan, kerja magang, kerja lepas dengan pemasukan alakadarnya, dan sedikit bantuan dari mereka yang sudi berbaik hati mengirimkan atau memberikan makanan.

Bukan, itu bukan dari keluarga di rumah atau rekan kerja di kantor, karena mereka lebih banyak mendikte atau merecoki, tapi tak pernah membantu.

Pada akhirnya, aku pulang setelah semua pekerjaan tuntas, seperti halnya perkara tunggakan gaji.

Kebetulan, ada kesempatan magang yang kudapat, tak jauh dari rumah. Ini lebih baik daripada menunggu godot berwujud lowongan kerja di tengah pagebluk, dan ketidakpastian di rumah.

Tapi, ternyata ini sedikit lebih buruk. Nyaris tak ada jeda, lengkap dengan tekanan kerja dan gaji yang jomplang.

Pada saat bersamaan, aku melihat lagi pemandangan ganjil itu: sang bos masih bisa bepergian, bersenang-senang, tapi dengan enaknya memberi tekanan hebat. Jujur, rasanya seperti masuk ke lubang yang sama.

Bodoh sekali.

Apa boleh buat, di akhir masa magang, aku memilih pergi. Tepatnya, kembali ke rumah. Mengerjakan yang bisa dikerjakan, sambil mengobati luka karena dua kali masuk lubang yang sama, meski masih ada dikte di sana-sini.


Tapi, apa yang terjadi?

Saat aku seharusnya mulai bisa segera bergerak, halangan lain datang dari virus penyebab pagebluk itu.

Sebenarnya bukan aku, tapi orang lain yang kena. Sayangnya, satu rumah kena imbas. Isolasi ini membuatku mati langkah.

Menyakitkan.

Entah akan seperti apa lagi keadaan nanti. Tapi, semua itu membuatku ingin rehat. Aku ingin menghilang sejenak dari semua kekacauan ini.

Dalam lelahnya, diriku berkata tegas,

"Saatnya istirahat, lupakan sejenak, sembuhkan luka."

Rasa sakit akibat situasi sulit dan menyakitkan ini membuatku merasa lelah. Tapi, aku benar-benar belajar darinya.

Pagebluk ini memang jadi masa tempat ironi bertebaran, dan hukum rimba merajalela. Inilah masa yang kelak akan kuingat, sebagai satu masa traumatis lainnya dalam hidup.

Ini adalah satu masa penuh luka, dengan rasa sakit luar biasa. Satu masa yang ingin dilupakan, dalam rasa sepi dan pahit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun