Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

"Nyanyian Basi" di Masa Pandemi

3 April 2021   21:53 Diperbarui: 26 April 2021   22:18 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai pembuka, izinkan saya menjelaskan, bahwa apa yang saya tulis ini merupakan hasil refleksi dan pengamatan pribadi.

Sejak merebaknya pandemi Corona, khususnya di Indonesia, ada satu alasan, yang seolah menjadi "lagu wajib" bagi pelaku usaha atau pengambil keputusan, yakni "imbas pandemi", yang memang sukses membuat berbagai sektor limbung, bahkan ambruk.

Pada awalnya, ini memang bisa diakali, misalnya dengan melakukan penyesuaian (kalau tak boleh dibilang pemotongan) gaji, dari yang jumlahnya kecil sampai besar.

Tapi, masih berlarutnya situasi membuat "imbas pandemi" perlahan berubah menjadi "nyanyian basi" di masa pandemi.

Bukannya menganggap remeh pandemi, tapi "nyanyian basi" ini tampaknya sukses membuat sebagian pengambil keputusan kehilangan kreativitas dan kepekaan.

Pandemi sudah berjalan selama kurang lebih satu tahun di Indonesia, kalau masih pakai "nyanyian basi" ini, kita patut bertanya: apa tidak ada adaptasi? Setahun ini ngapain aja?

Bagaimana tidak, sebagian dari mereka  hanya berlindung di balik alasan "imbas pandemi", dan tega melakukan pemotongan gaji atau PHK besar-besaran. Sementara itu, pada saat bersamaan, mereka bisa piknik, bergaya hidup wah, melakukan "business trip" dan "mejeng" di media sosial, seperti tidak terjadi apa-apa.

Padahal, kalau mereka bisa menahan diri, pengeluaran untuk bersenang-senang atau bepergian itu agaknya cukup untuk mengamankan anggaran gaji, dan mencegah PHK. Buat apa ada sarana rapat virtual jika tak digunakan?

Mereka boleh saja mengatakan, ini adalah cara untuk menjaga kesehatan mental.

Tapi, tak elok rasanya, jika kesehatan mental banyak orang dikorbankan, hanya untuk kesenangan sekelompok kecil orang. Apalagi, jika mereka memang tak pernah turun ke bawah, atau memang tak membumi.

Secara ekonomi, mereka sudah berkecukupan, andai harus berhemat seharusnya itu bukan masalah besar.

Jadi, agak aneh jika mereka justru mengorbankan orang-orang yang posisinya lebih rentan, karena itu justru akan menambah masalah.

Hebatnya, alasan "imbas pandemi" juga bisa membuat para atasan ini memperlakukan bawahan seperti kain pel: tekanan kerja terus naik, selagi gaji malah turun. Sebaliknya, para atasan bisa tetap santai seperti biasa.

Padahal, sebagai pimpinan, tekanan terbesar justru ada di tangan mereka. Sebagai nahkoda, seharusnya mereka mengarahkan bawahan dan tim, bukan malah menghilang dan menambah masalah, dengan berlindung di balik alasan "imbas pandemi".

"Imbas pandemi" memang belakangan seperti menjadi mantra sakti yang menjengkelkan, karena ternyata ada yang membuatnya jadi alasan, untuk bertindak tidak adil, dengan memanfaatkan hirarki jabatan.

Meski begitu, fenomena ini menunjukkan satu sisi positif pandemi, yakni ia akan memperlihatkan dengan gamblang, mana saja pelaku bisnis yang tidak bermoral, sekaligus "do" dan "don't" bagi pebisnis di masa pandemi.

Semua sektor memang terdampak pandemi, tapi bukan berarti "imbas pandemi" boleh dijadikan pembenaran atas tindakan tak bermoral. Sebaliknya, imbas pandemi seharusnya bisa memicu naluri survival manusia, untuk tetap berdaya, bahkan semakin berkembang, bukan menjadi kerdil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun