Bicara soal makanan kesukaan, setiap orang pasti punya cerita masing-masing, saat berkenalan dan akhirnya suka. Begitu juga dengan saya, dalam hal ini saya dan dodol, yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan sebutan "jenang".
Dari cerita orang tua saya, awal perkenalan saya dengan kudapan manis ini dimulai, saat saya berusia 3 tahun atau kurang. Saat itu, kakek saya memang memproduksi dodol buatan sendiri, tepatnya sejak menikah pada tahun 1955 sampai memutuskan "pensiun" tahun 1995, dan diteruskan oleh keponakannya.
Berangkat dari situasi "terbiasa" inilah, saya jadi terbiasa dan suka makan dodol. Tapi ada satu memori unik di masa kecil, yang lekat dalam ingatan.
Setiap kali makan dodol bersama Opa (panggilan sehari-hari saya pada kakek) rasanya seperti ikut acara review kuliner plus sedikit nostalgia.
Saat bercerita, opa pernah sedikit berandai-andai: seandainya diolah memakai mesin, pasti bisa lebih bagus, tidak terlalu melelahkan. Maklum, dalam proses produksinya, Opa sepenuhnya menggunakan metode manual.
Benar, pengalaman selama 40 tahun bersama dodol memang membuatnya punya pemahaman mendalam soal seluk-beluk bahan, rasa, atau aspek lainnya.
Uniknya, Opa hanya menyampaikan satu hal kunci paling sederhana, yang membuat sebuah dodol layak dikatakan "enak", yakni tidak lengket di mulut dan gigi saat dikunyah. Inilah satu karakteristik yang jadi ciri khas dodol produksi Opa.
Soal proporsi bahan dan rasa sendiri, Opa tak pernah menyebut, bagaimana proporsi jumlah bahan dan rasa ideal dodol. Kecuali, dalam hal bahan, yang memang harus murni, bukan hasil pabrik.
Karena sifatnya yang relatif, tak ada patokan pasti. Penyebabnya, selera konsumen beragam. Ada yang suka dodol bertekstur lembut, ada yang suka dodol bertekstur keras, ada juga yang menyukai dodol yang agak gosong, karena dinilai punya tekstur dan rasa yang unik.
Semuanya benar, karena memang sudah selera masing-masing. Pandangan ini semakin relevan, dalam dunia yang serba "customer oriented" seperti sekarang. Dimana, produsen tak bisa lagi mendikte konsumen. Keinginan konsumenlah yang mendikte produsen.
Kini, tepatnya sejak awal tahun 2021, saya dan keluarga bisa bertemu lagi dengan rasa dodol yang unik itu di rumah. Berawal dari "pesan wasiat" keponakan Opa, beberapa waktu sebelum meninggal karena sakit di penghujung tahun 2020, tongkat estafet perjalanan itu kembali berlanjut.
Berbeda dengan sebelumnya, yang masih sepenuhnya menggunakan metode manual, kali ini pengolahan dodol dari resep warisan Opa sudah melibatkan tenaga mesin. Uniknya, ini seperti "menjawab" pengandaian Opa, soal pengolahan dodol.
Di sisi lain, pertemuan kembali saya (dan keluarga) dengan dodol ini seperti sebuah paradoks, karena kami semua diajak kilas balik rasa dari sebuah resep klasik, dalam lanskap kekinian, karena diolah dengan bantuan teknologi modern.
Untuk nama produk sendiri, kami sekeluarga sepakat menggunakan kata warisan dan nama Opa sebagai jenama. Selain karena untuk menghormati nama sang pemilik resep, inilah sebentuk warisan yang memang ditinggalkannya, untuk dijaga generasi penerus.
Untuk saat ini, semua memang baru mulai berjalan, sambil belajar memperbaiki setiap kekurangan yang ada. Seiring berjalannya waktu, semua pasti akan lebih baik. Selebihnya, biarkan sang waktu menuntun dan menunjukkan, supaya semua bisa berjalan dengan semestinya, di tengah berbagai ketidakpastian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H