"Ini adalah tempat penuh kenangan yang setiap sudutnya terbuat dari rindu."
Itulah cerita yang berkali-kali kudengar sejak lama. Tapi, saat aku pergi, aku tak termakan kalimat penuh drama itu, begitu juga saat pagebluk memaksaku pulang.
Tak ada rasa apapun, selain keinginan untuk membebaskan diri sejenak. Oke, aku memang mendapat pekerjaan baru di sini, yang kata orang-orang adalah satu keberuntungan.
Tapi, seiring berjalannya waktu, keberuntungan ini terlihat seperti penderitaan. Ada gaji yang disesuaikan, tapi diikuti dengan tugas yang mulai berlipat ganda, dan kenyataan bahwa tak ada hari libur di sana.
Untunglah, aku sempat menegosiasikan ini, sehingga aku tetap bisa libur di hari Minggu. Meskipun, aku kadang tetap was-was di tanggal merah lainnya.
Ini memang bukan pengalaman pertamaku di kota Klasik. Tempat yang memberiku kesan buruk sebagai pekerja. Kota tujuan wisata ini memang masih loyo karena efek samping pagebluk, tapi kata-kata romantis tentangnya hanya omong kosong.
Benar, meski tinggal di rumah sendiri, rasa lelah dan tekanannya sungguh menjengkelkan. Ada kesan tak mau tahu dengan privasi, dan dikte di sana-sini.
Kalau diingat lagi, aku masih merasa jauh lebih nyaman di ibukota. Hari-hari terasa begitu cepat, dan rasa lelah langsung tertutupi dengan istirahat.
Meski begitu, masih ada sedikit rasa sedih, karena aku dicampakkan dengan enaknya, selagi mereka justru asyik bersenang-senang. Oke, kita masih berteman, tapi semua tak lagi sama.
Ditambah lagi, ada rasa sakit lain, karena orang dengan kondisi fisik sepertiku hanya jadi objek magang, dengan pendapatan jauh dari layak.
Maaf, aku juga manusia yang butuh pekerjaan tetap. Persetan dengan omong kosong soal kewirausahaan, jika ujungnya hanya menumpuk hutang. Kecuali, jika ada usaha turun temurun yang memang harus dijaga