Jatuh. Inilah satu kata yang mengakrabi Liverpool sejak pergantian tahun. Selain mengalami sejumlah kekalahan di liga, The Kop juga masuk kotak di Piala FA.
Terakhir, tim asuhan Juergen Klopp ini takluk 1-3 atas Leicester City, Sabtu, (13/2). Meski sempat unggul lebih dulu, tiga gol di lima belas menit akhir pertandingan memaksa mereka pulang dengan tangan hampa.
Kekalahan ini semakin getir, karena turut diwarnai aksi blunder Alisson, yang gagal memotong umpan panjang pemain lawan. Sebelumnya, sang Brasileiro juga membuat sepasang blunder saat menghadapi Manchester City di Anfield.
Praktis, Mohamed Salah dkk hanya tinggal mengincar target finis di posisi empat besar, setelah musim lalu melaju kencang sebelum akhirnya meraih trofi juara Liga Inggris.
Mungkin, ini terasa ironis, karena sejatinya Klopp tak banyak mengubah komposisi tim. Mereka bahkan hanya berbelanja pemain sesuai kebutuhan.
Tapi, jika melihat tren di Liga Inggris sedekade terakhir, kejatuhan Liverpool ini menunjukkan, betapa pendeknya siklus sukses tim juara Liga Inggris.
Benar, sejak musim 2008/2009, Liga Inggris hanya punya Manchester City yang mampu mempertahankan gelar juara (2017/2018 dan 2018/2019). Selebihnya gagal total.
Di liga yang hanya didominasi satu-dua tim, fenomena ini tak akan terjadi. Kalaupun ada, kekuatan tim tersebut akan terlucuti, segera setelah jadi juara.
Di Prancis misalnya, saat AS Monaco juara Ligue 1 dan mencapai semifinal Liga Champions musim 2016/2017, mereka antara lain punya seorang Kylian Mbappe yang subur dan Fabinho yang serba bisa.
Setelahnya, semua tak lagi sama. Mbappe ditarik ke PSG, yang kembali menjaga hegemoni di liga. Setelahnya, giliran Fabinho pindah ke Liverpool.
Contoh lainnya terjadi di Bundesliga Jerman, dimana Bayern Munich biasa menggembosi kekuatan tim lawan, dengan Borussia Dortmund sering jadi korban.