Sejak dimulainya era reformasi, kebebasan berekspresi menjadi satu hal normal. Tak ada lagi kekhawatiran akan kena ciduk pihak berwenang, saat seseorang bersuara mengkritisi pemerintah, kecuali jika tindakan itu terbukti melanggar undang-undang.
Kebebasan itu belakangan semakin menjadi, seiring mekarnya media sosial. Setiap orang bebas berceloteh mengkritisi kebijakan atau kinerja pemerintah, dalam bentuk apapun, mulai dari kata-kata sampai konten-konten.
Gayanya pun sangat beragam. Mulai dari yang sangat serius, satir, sampai sangat jenaka. Tahu sendirilah, seberapa hebat kesaktian warganet kita.
Tapi, akibat imbas polarisasi politik saat dan pasca-pemilu 2019, mengkritisi kebijakan atau kinerja pemerintah adalah satu hal menyebalkan. Bukan karena pemerintah antikritik, tapi karena label yang muncul akibat polarisasi di masyarakat.
Saya yakin dan percaya, dalam perannya sebagai seorang presiden, Joko Widodo tetap membutuhkan kritik konstruktif, untuk mengimbangi gelombang pujian dari kelompok pendukung fanatiknya.
Jelas, sebagai seorang pemimpin, ia berhak tahu, apa saja hal-hal yang bisa ditingkatkan atau diperbaiki. Apalagi dalam kondisi masih pandemi seperti sekarang. Pujian tanpa adanya kritik hanya akan melemahkan.
Masalahnya, polarisasi yang menimbulkan labelisasi di masyarakat terlanjur sukses membuat orang malas memberikan pendapat. Paling banter, pendapat itu hanya berakhir di kolom komentar media sosial atau di depan televisi.
Alhasil, diam menjadi pilihan terbaik. Meskipun, cap "apatis" sudah menanti di depan mata. Padahal, berbicara pun terbukti tak ada gunanya.
Buat apa berpendapat, jika nanti dicap sebagai hewan amphibi atau penghuni padang pasir?
Buat apa berpendapat, kalau lebih banyak mendapat mudarat ketimbang manfaat?
Boleh dibilang, semua labelisasi ini sukses membuat banyak orang terjebak dalam posisi serba salah: diam kena, berbicara juga kena.