Jika melihat identitas kita sebagai satu bangsa yang kaya akan budaya adiluhung, khususnya kearifan lokal, rasanya perkara labelisasi dan polarisasi itu terlalu receh.
Mengapa?
Karena, dengan kekayaan budaya yang ada, rasanya tak sulit untuk bisa mentoleransi semua perbedaan, seperti yang selama ini sudah dijalankan.
Jika sikap kekanakan, dalam wujud labelisasi semacam ini masih ada, perbaikan dan peningkatan hanyalah mimpi, karena ruang untuk mengutarakanya dibatasi secara konyol.
Ini jelas satu kemunduran, jika acuannya adalah reformasi, yang dulu diperjuangkan rakyat dengan keringat dan darah. Apa yang sudah diraih dengan susah payah justru disia-siakan.
Otomatis, kita semua perlu melihat ulang, apa saja yang sudah menghambat perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, sampai muncul cara pandang kekanakan seperti itu, supaya kita semua bisa memahami dan mensyukuri, betapa berharganya sebuah perbedaan dalam berekspresi, karena itu juga merupakan satu wujud toleransi dalam keberagaman, sepanjang itu bersifat konstruktif.
Masa iya, kita mau kembali ke era otoriter lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H