Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berpendapat, antara Hak dan Rasa Serba Salah

12 Februari 2021   00:21 Diperbarui: 12 Februari 2021   00:53 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak dimulainya era reformasi, kebebasan berekspresi menjadi satu hal normal. Tak ada lagi kekhawatiran akan kena ciduk pihak berwenang, saat seseorang bersuara mengkritisi pemerintah, kecuali jika tindakan itu terbukti melanggar undang-undang.

Kebebasan itu belakangan semakin menjadi, seiring mekarnya media sosial. Setiap orang bebas berceloteh mengkritisi kebijakan atau kinerja pemerintah, dalam bentuk apapun, mulai dari kata-kata sampai konten-konten.

Gayanya pun sangat beragam. Mulai dari yang sangat serius, satir, sampai sangat jenaka. Tahu sendirilah, seberapa hebat kesaktian warganet kita.

Tapi, akibat imbas polarisasi politik saat dan pasca-pemilu 2019, mengkritisi kebijakan atau kinerja pemerintah adalah satu hal menyebalkan. Bukan karena pemerintah antikritik, tapi karena label yang muncul akibat polarisasi di masyarakat.

Saya yakin dan percaya, dalam perannya sebagai seorang presiden, Joko Widodo tetap membutuhkan kritik konstruktif, untuk mengimbangi gelombang pujian dari kelompok pendukung fanatiknya.

Jelas, sebagai seorang pemimpin, ia berhak tahu, apa saja hal-hal yang bisa ditingkatkan atau diperbaiki. Apalagi dalam kondisi masih pandemi seperti sekarang. Pujian tanpa adanya kritik hanya akan melemahkan.

Masalahnya, polarisasi yang menimbulkan labelisasi di masyarakat terlanjur sukses membuat orang malas memberikan pendapat. Paling banter, pendapat itu hanya berakhir di kolom komentar media sosial atau di depan televisi.

Alhasil, diam menjadi pilihan terbaik. Meskipun, cap "apatis" sudah menanti di depan mata. Padahal, berbicara pun terbukti tak ada gunanya.

Buat apa berpendapat, jika nanti dicap sebagai hewan amphibi atau penghuni padang pasir?

Buat apa berpendapat, kalau lebih banyak mendapat mudarat ketimbang manfaat?

Boleh dibilang, semua labelisasi ini sukses membuat banyak orang terjebak dalam posisi serba salah: diam kena, berbicara juga kena.

Jika melihat identitas kita sebagai satu bangsa yang kaya akan budaya adiluhung, khususnya kearifan lokal, rasanya perkara labelisasi dan polarisasi itu terlalu receh.

Mengapa?

Karena, dengan kekayaan budaya yang ada, rasanya tak sulit untuk bisa mentoleransi semua perbedaan, seperti yang selama ini sudah dijalankan.

Jika sikap kekanakan, dalam wujud labelisasi semacam ini masih ada, perbaikan dan peningkatan hanyalah mimpi, karena ruang untuk mengutarakanya dibatasi secara konyol.

Ini jelas satu kemunduran, jika acuannya adalah reformasi, yang dulu diperjuangkan rakyat dengan keringat dan darah. Apa yang sudah diraih dengan susah payah justru disia-siakan.

Otomatis, kita semua perlu melihat ulang, apa saja yang sudah menghambat perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, sampai muncul cara pandang kekanakan seperti itu, supaya kita semua bisa memahami dan mensyukuri, betapa berharganya sebuah perbedaan dalam berekspresi, karena itu juga merupakan satu wujud toleransi dalam keberagaman, sepanjang itu bersifat konstruktif.

Masa iya, kita mau kembali ke era otoriter lagi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun