Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Secuil Idealisme, Separuh Mimpi

7 Februari 2021   17:55 Diperbarui: 7 Februari 2021   18:26 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Freepik.com)

Di luar faktor fisik, faktor mental juga sangat saya perhatikan. Bekerja memang satu kodrat seorang manusia, tapi ada kalanya ia harus beristirahat.

Dalam artian, ada hari libur, untuk seseorang bisa "mengisi baterai" sejenak, sebelum kembali bekerja. Baterai ponsel saja diisi ulang saat low battery, begitupun manusia saat lelah secara psikis.

Inilah mengapa, batasan jam kerja diatur, dan selalu ada libur akhir pekan, atau libur nasional. Begitu juga dengan hak cuti pada saat tertentu, misalnya saat menikah, atau hari raya keagamaan, seperti yang diatur dalam undang-undang.

Meski begitu, hal prinsipal seperti ini kadang hanya menjadi separuh mimpi, alias "antara ada dan tiada". Pada perusahaan yang punya kesepakatan kerja hitam di atas putih saja, ini kadang bisa dilanggar dengan enaknya.

Jadi, jangan tanya bagaimana ruwetnya masalah ini, pada perusahaan atau badan usaha yang tak menerbitkan kesepakatan kerja hitam di atas putih.

Memang, untuk saat ini, pandemi sukses memaksa hampir semua perusahaan atau badan usaha melakukan penyesuaian jam dan jadwal kerja. Masalahnya, bagaimana jika situasi sudah kembali normal?

Inilah PR besar pemerintah dan semua pihak terkait, yang perlu diperhatikan dan dipersiapkan dengan cermat. Jangan sampai, saat semua sudah kembali normal, pekerja kembali diperas habis tenaga dan pikirannya seperti kain pel, sementara sang pimpinan bisa berleha-leha dengan enaknya.

Pada akhirnya, "work life balance" bukan hanya soal pembagian porsi waktu hidup sehari-hari. Ini soal apakah seorang yang bekerja punya ruang gerak cukup, untuk kehidupan pribadi dan pengembangan diri di sela-sela kesibukan bekerja.

Jadi, saat nanti masa pensiun tiba, ia bisa tetap berdaya, dan tak sampai menderita akibat merasa diri tak berguna, atau terkena "post power syndrom", setelah tak lagi dipekerjakan pasca-purnatugas.

Ini penting, karena pekerjaan sejatinya adalah sarana pemberdayaan, yang seharusnya bisa lebih "memanusiakan", bukan memperbudak. Lagipula, pekerja juga manusia, yang punya kehidupan pribadi dan minat bakat sendiri-sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun