Bukan cuma pejabat, pebisnis betulan, dan mereka yang merasa dirinya pebisnis ada juga doyan merangkap, tapi malu merangkak dari bawah.
Memang, ini ada di semua level. Mulai dari kelas ikan paus sampai abal-abal, ada saja nama jabatan dengan istilah keriting, yang bisa membuat lidah siapapun menari Tango, Samba atau salsa.
Sebagian dari mereka menjadikan ini sebagai obsesi, hanya karena ingin diakui orang banyak. Hidup mereka seolah sia-sia, jika tak mendapat pengakuan.
Selain pengakuan, para elit tersebut juga akan bisa mendapat pemasukan ekstra. Ini sesuatu yang begitu didamba pada masa pagebluk, masa dimana pemasukan begitu seret, akibat pemotongan di sana-sini.
Bagi para pekerja biasa, rangkap jabatan tak selalu jadi hal baik. Apalagi, di masa pagebluk ini. Andai mereka pekerja borongan dengan upah harian, mungkin ini akan sangat membantu.
Tapi, bagaimana jika mereka adalah pekerja biasa dengan upah bulanan?
Ngilu rasanya. Terutama, jika tak ada hitam di atas putih.
Ini adalah satu taktik penghematan, meski kadang terasa seperti pemerasan. Seperti seorang bek saat bertahan, rupa-rupa pelanggaran bisa dilakukan, tanpa ada teguran apalagi hadiah kartu dari wasit. Ada bonus, meski berupa iming-iming, layaknya umpan ikan di tempat pemancingan.
Andai si pekerja keluar mendadak, mereka bisa saja merasa jadi "korban", seperti taktik andalan seorang politisi berwajah mirip Pak Nobisuke Nobi, ayah Nobita Nobi, si sohib kental kucing mekanik berwarna biru.
Tapi, apa yang bisa diandalkan dari setumpuk lisan?
Inilah alasan kenapa aku kadang masih merindukan ibukota. Tempat yang keras buat pekerja, tapi masih sportif, dan memberi cukup ruang untuk pengembangan diri, apapun bentuknya.