Pada Rabu (3/2), saya berkesempatan mengunjungi warung The Next Sate Ratu di Condongcatur, Sleman, Yogyakarta. Cuaca hujan sejak sore memang membuat mentari senja bolos hadir, tapi saya tetap berangkat, meski agak terlambat datang.
Sejak awal, saya memang tertarik ikut, karena kebetulan waktunya berdekatan dengan jam pulang kantor. Kebetulan, belum lama ini saya sempat terkena gejala darah rendah.
Bisa refreshing sepulang kerja bersama teman-teman K-JOG, sambil menaikkan tensi darah, dan menulis dalam suasana syahdu bersama hujan. Sempurna.
Suasana hujan yang biasanya mengundang galau dan kenangan suram, kini justru jadi menyenangkan. Selain bisa menyantap sepiring sate merah, saya juga berkesempatan mewawancarai Pak Fabian Budi Seputro, sang tuan rumah.
Pada awalnya, saya langsung mendapat kesan unik, saat menyantap sate merah. Rasanya spicy, dan dagingnya tidak menyangkut di sela gigi. Di sini, saya langsung berpikir, ini lain dari yang lain, spesial.
Benar saja, kesan unik ini makin kentara, setelah Pak Budi bertutur tentang ekspatriat yang mampir kemari. Ternyata, mereka langsung cocok dengan rasa khas menu sate di sini.
Tak tanggung-tanggung, mereka berasal dari 85 negara berbeda. Kunjungan mereka memang dicatat secara khusus, karena ini merupakan bagian dari misi Pak Budi memperkenalkan kuliner Nusantara, khususnya sate, yang kadung diasosiasikan hanya punya rasa manis dan gurih.
Kesan lain yang saya dapat di sini adalah, "keunikan yang normal". Mungkin terdengar aneh, tapi inilah mindset yang memang jadi identitas khas Sate Ratu.
Benar, mereka unik dari segi rasa, tapi tidak lantas terjebak dalam obsesi untuk tampil beda dan berinovasi. Fenomena ini biasa ditemui di bisnis era kekinian, dan justru kerap jadi bumerang, karena bukan konsumen yang jadi titik pusat.
Syukurlah, ini tidak terjadi di Sate Ratu. Mereka memang mengikuti arus perubahan, tapi tak terhanyut olehnya. Persis seperti pepatah Jawa "ngeli tapi ora keli."
Mereka malah memikirkan bagaimana caranya supaya perbedaan dalam inovasi ini jadi keunikan dan ciri khas yang bisa diterima luas, karena konsumen adalah koentji.
Sebagai tuan rumah, Pak Budi memang punya idealisme kukuh soal rasa. Ia selalu berkomitmen menjaga kualitas rasa produk, dan karenanya enggan membuka cabang baru, meskipun peluang untuk memperbanyak cabang begitu terbuka, dan ini bisa jadi godaan menyilaukan bagi setiap pebisnis sukses sepertinya.
Tapi, yang membuat saya angkat topi pada arek Suroboyo ini adalah cara pandangnya yang komprehensif, meski dari luar terlihat biasa saja.
Selain rasa dan kualitas, ia juga benar-benar memikirkan kenyamanan konsumen. Ini antara lain terlihat, dari kuah yang menjadi menu pendamping sate.
Dengan rasa gurih yang pas, rasa berbeda saat makan sate akan tersaji. Keunikan ini sekaligus memastikan, konsumen bisa tetap makan enak tanpa khawatir akan tersedak.
Warung sate mana yang sempat berpikir sampai ke sini?
Dengan segala keistimewaan inilah, predikat Juara Nasional Lomba Ngulik Rasa Unilever tahun 2019 memang layak tersemat. Karena, Pak Budi dan Sate Ratu benar-benar memperhatikan setiap aspek secara terukur, bahkan sampai ke detail kecil, yang kerap luput dari perhatian.
Salut!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H