Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Tragedi Sate Rempela Hati

25 Januari 2021   06:24 Diperbarui: 25 Januari 2021   07:03 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sate rempela hati ayam (kompas.com)

Dear Diary,

Sudah hampir sepekan aku mengalami gejala alergi. Penyebabnya, keracunan makanan akibat makan sate rempela hati ayam bumbu bacem, dari pemberian bos di kantor untuk semua karyawan.

Sama seperti karyawan yang lain, aku mendapatkannya bersama sekotak nasi dan sayur, lengkap dengan sendok. Karena lapar, aku berusaha tetap memakannya, meskipun, sebenarnya aku kurang menyukai rempela hati, karena rasanya terkadang pahit, begitu juga dengan bumbu bacem, yang kadang kelewat manis.

Dari semua orang yang memakannya, hanya aku yang keracunan. Sial.

Pada hari pertama, muncul bintik-bintik merah di kulit, disusul pusing dan demam. Aku masih bisa bekerja di kantor, meski rasanya lemas sekali.

Ditambah lagi, aku harus menghadapi rasa nyeri, setelah pergelangan kaki yang bengkak baru bisa diobati. Saat rasanya hampir tak kuat lagi, aku memesan segelas besar kopi rum, yang setidaknya bisa jadi doping sampai jam kerja selesai.

Malamnya, aku baru bisa mengobati itu, dan rasanya buruk sekali. Setelahnya, aku sama sekali tidak bisa bangun, karena kepala belakangku terasa amat pusing, serasa habis kena pukul.

Oke, aku memang mendapat izin sakit, dengan menukar hari liburku. Tapi, saat kembali masuk, aku merasa ngeri.

Kepalaku rasanya masih sama saja. Setiap kali aku berjalan, setiap kali itu juga aku merasa seperti sedang ada gempa.

Tak mau ambil risiko, bos lalu menyuruhku absen sampai kondisi cukup sehat. Keputusan yang akhirnya aku gunakan untuk istirahat, karena kepala ini masih saja pusing, yang ternyata gejala darah rendah.

Gejala alergi akibat keracunan makanan dan darah rendah. Mengerikan, seperti sebuah tragedi.

Ini adalah situasi tumbang kedua dalam sepekan terakhir, yang tak pernah kualami di ibukota. Entah disadari atau tidak, aku malah melihat, situasi di sini terlalu absurd.

Sekali tumbang akibat kelelahan, lalu tumbang lagi akibat keracunan makanan. Padahal ini tempat yang konon katanya berbudaya sangat santai.

Santai apanya?

Ada mentalitas instan, yang ingin semua jadi beres sekaligus dalam semalam, sekalipun kondisinya kurang terurus.

Ada yang akhirnya harus pakai uang dan tenaga ahli, demi mengebut semuanya. Apalagi, toko saingan baru muncul di depan hidung.

Aku jelas kocar-kacir dalam kebingungan ini. Masih belum genap sebulan, tapi sudah dibuat bingung dan dua kali tumbang.

Apa-apaan ini?

Dear Diary,

Mungkin ini memang baru awal. Tapi, sepertinya aku harus mulai melihat betul situasinya. Terutama kalau nanti aku terpaksa tumbang lagi, entah karena apa.

Yah, setidaknya aku perlu fokus dulu pada apa yang harus dikerjakan sekarang. Semua ada waktunya, juga ada batasnya.

Satu hal yang pasti, hati memang tidak untuk dimakan, karena sudah terbukti membuatku ambruk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun