"Apa kamu ada pandangan kembali ke ibukota?"
Pertanyaan itu meluncur dari mulut bos, dalam posisinya sebagai teman lamaku.
"Ya." Jawabku tanpa ragu.
Mungkin, jawabanku ini terdengar gila, karena dalam kondisi tubuh rapuh, aku justru merindukan tempat yang konon katanya bar-bar itu. Tapi, aku memandang tempat itu dengan rasa hormat, karena ia memandangku utuh sebagai manusia, tanpa melihat kondisi tubuhku.
"Oke. Aku tak akan menghalangimu. Sebenarnya, aku ingin kamu bertahan sangat lama di sini. Tapi, aku paham kenapa kamu berpikir begitu. Setidaknya, buatlah warisan positif di sini, jadi saat kamu pergi, kamu bisa pergi dengan tenang.", Jelasnya.
Aku merasa lega dan bersemangat mendengarnya. Sayang, ayahku langsung kebakaran jenggot saat mengetahuinya.
"Dasar bodoh! Kamu mau bunuh diri?", Sergahnya tanpa ampun, sambil mengeluarkan berbagai dalilnya soal hidup di ibukota. Seperti tak rela, burung yang sudah masuk dalam sangkar kembali lepas.
Yah, aku tahu, ayah memang punya pengalaman lebih panjang di sana. Sayang, kegemarannya mendikte dan memaksakan pandangan pribadi, membuatku kurang peduli, karena memang kurang cocok untuk membaur secara luwes, dengan kehidupan di luar sana.
Benar, di ibukota, aku akan kembali bertemu dengan keluarga besar yang gemar bermain catur, dengan berbagai manuvernya. Tapi, jangan lupa, aku sudah mengalami sendirian, bagaimana situasinya.
Sejak awal sampai akhir, mereka mempersilakan aku masuk. Aku hanya diminta duduk manis dan menonton saja, tanpa peduli pada siapapun yang ingin coba menyetirku. Aku hanya perlu bersikap lugu seperti biasa, karena apapun yang terjadi di sana memang bukan urusanku.
Mereka tak pernah menuntutku untuk selalu datang, karena tahu situasi di lapangan seperti apa. Mereka sudah sangat pengertian.
Ada teman yang selalu muncul, mengisi ruang kosong di hati. Ada rasa lelah, tapi itu bisa langsung ditutup dengan istirahat. Semua itu sudah lebih dari cukup buatku.
Pertanyaannya, apa yang kudapat setelah kembali ke Kota Klasik akibat pagebluk?
Hanya dikte demi dikte. Syukurlah, ada pekerjaan yang bisa membuatku tidur nyenyak karena lelah bekerja. Bukan, ini bukan lelah. Ini berkat.
Benar, ada rutinitas di sini. Masalahnya, kota tujuan wisata ini bukan tempat yang punya suasana pas untuk bekerja secara rutin. Kalau sedang tak ada pagebluk, nyaris tak ada jeda di sini. Satu-satunya yang banyak membantu hanya rekan kerja dan atasan yang baik.
Aku sudah pernah mengalami dan ambruk karenanya. Lebih dari itu, aku juga sudah melihat sendiri, wajah eksotis yang didamba banyak orang di luar sana hanya sebuah ilusi.
Sejak sekolah dulu, aku sudah melihatnya. Ada penolakan karena mereka melihat tubuh, bukan teknis. Budaya macam apa ini?
Tak ada cukup ruang untuk kehidupan pribadi, karena ada rasa sesak yang selalu menemani. Kalaupun ada jeda, itu hanya cukup untuk menghapus rasa lelah. Tak ada cukup ruang untuk pengembangan diri, atau hal sejenisnya.
Yah, begitulah. Benar kata orang, setiap kota punya porsinya sendiri. Mereka juga punya sisi lain yang bisa berlainan dengan tampilan luarnya: yang terlihat bar-bar dari luar kadang justru lebih punya hati ketimbang yang terlihat sangat berbudaya.
Untuk saat ini, aku memang hanya perlu menjalani semua, setidaknya sepanjang tahun ganjil. Mungkin, inilah pelita yang akan menuntun langkah ke tujuan berikutnya. Aku lebih percaya tuntutan dari Atas, ketimbang dikte di sana-sini.
Karena, tuntunan itu terbukti selalu menguatkan dan menyelamatkan di saat paling sulit sekalipun, bukan malah menimbulkan kekacauan dan kegaduhan.
Aku yakin, jika tugasku di sini sudah selesai, aku akan melangkah lagi ke sana. Pagebluk sialan ini memang membuat hidup seperti menekan tombol pause, tapi aku tahu, hidup tak pernah begitu. Karena ia hanya kenal tombol play dan stop.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H