"Apa kamu ada pandangan kembali ke ibukota?"
Pertanyaan itu meluncur dari mulut bos, dalam posisinya sebagai teman lamaku.
"Ya." Jawabku tanpa ragu.
Mungkin, jawabanku ini terdengar gila, karena dalam kondisi tubuh rapuh, aku justru merindukan tempat yang konon katanya bar-bar itu. Tapi, aku memandang tempat itu dengan rasa hormat, karena ia memandangku utuh sebagai manusia, tanpa melihat kondisi tubuhku.
"Oke. Aku tak akan menghalangimu. Sebenarnya, aku ingin kamu bertahan sangat lama di sini. Tapi, aku paham kenapa kamu berpikir begitu. Setidaknya, buatlah warisan positif di sini, jadi saat kamu pergi, kamu bisa pergi dengan tenang.", Jelasnya.
Aku merasa lega dan bersemangat mendengarnya. Sayang, ayahku langsung kebakaran jenggot saat mengetahuinya.
"Dasar bodoh! Kamu mau bunuh diri?", Sergahnya tanpa ampun, sambil mengeluarkan berbagai dalilnya soal hidup di ibukota. Seperti tak rela, burung yang sudah masuk dalam sangkar kembali lepas.
Yah, aku tahu, ayah memang punya pengalaman lebih panjang di sana. Sayang, kegemarannya mendikte dan memaksakan pandangan pribadi, membuatku kurang peduli, karena memang kurang cocok untuk membaur secara luwes, dengan kehidupan di luar sana.
Benar, di ibukota, aku akan kembali bertemu dengan keluarga besar yang gemar bermain catur, dengan berbagai manuvernya. Tapi, jangan lupa, aku sudah mengalami sendirian, bagaimana situasinya.
Sejak awal sampai akhir, mereka mempersilakan aku masuk. Aku hanya diminta duduk manis dan menonton saja, tanpa peduli pada siapapun yang ingin coba menyetirku. Aku hanya perlu bersikap lugu seperti biasa, karena apapun yang terjadi di sana memang bukan urusanku.
Mereka tak pernah menuntutku untuk selalu datang, karena tahu situasi di lapangan seperti apa. Mereka sudah sangat pengertian.