"Hujan di awal tahun adalah pertanda baik."
Itulah ujaran yang kudengar, tiap kali hujan deras mengguyur di awal tahun. Seolah, alam memang berkata begitu.
Tapi, siapakah kita ini, sampai bisa mendikte alam seperti itu?
Bukannya benci, tapi hujan di awal tahun sudah meninggalkan sebentuk jejak masa-masa sulit. Tahun kembar penuh pagebluk dimulai dengan hujan semalam suntuk yang membawa serta banjir besar di ibukota.
Sebelum tahun kembar penuh pagebluk saja, memori sumir sudah terbayang.
Enam tahun sebelumnya, hujan awal tahun menjadi latar momen saat ke gereja bersama Opa di Kota Dingin. Dalam terpaan gerimis khas kaki pegunungan, tak ada yang menyangka, ini akan jadi yang terakhir buatku. Opa berpulang di bulan berikutnya, dalam usia yang memang sudah sangat lanjut.
Jadi, aku selalu berharap, hujan awal tahun tak datang. Cukuplah cerah atau berawan sepanjang hari, tanpa ada air mata dari langit.
Aku tak ingin terlalu mendikte atau mensugesti diri berlebihan. Aku sadar, aku terlalu kecil dan lemah, untuk mendikte alam dan Tuhan sebegitu rupa.
Aku tak mau berharap terlalu banyak, karena hujan awal tahun sudah mengajarkan begitu. Semakin tinggi harapan yang digantungkan, semakin besar pula rasa sakit yang siap memukul balik kapan saja.
Hujan di awal tahun memang bisa meredam keriuhan pesta kembang api. Tapi, ia hanya alarm agar selalu waspada. Bisa saja ini pertanda buruk, bisa juga pertanda baik.
Di ujung tahun kembar ini, aku tak ingin punya mimpi berlebih. Cukup jalani yang harus dijalani sampai tuntas. Terus melangkah sampai akhirnya sampai di ujung jalan.