Padahal, cara berpikir mereka sudah terbukti membuatku kesulitan membaur. Karenanya, aku seperti hidup di dua alam berbeda.
Mereka masih menganggap remeh keadaan, dan hampir membuat semuanya kacau, andai aku tak melihat sendiri keadaan, dan mengambil keputusan berbeda, yang terbukti tepat.
Cara mereka meremehkan keadaan, sebenarnya sudah kutegur dengan cara meminta ganti ongkos kereta dan tes kesehatan. Bukan karena pelit, tapi karena harga di lapangan jauh lebih mahal dari perkiraan mereka.
Bukannya sadar, mereka masih begitu saja. Saat kembali, aku merasakan lagi, mimpi buruk yang sempat membuatku banyak bergantung pada kopi hitam tanpa gula. Aku berjumpa lagi dengan rasa terpasung tanpa daya, akibat tubuh masih dipandang.
Kuakui, keputusan untuk pulang jadi satu hal terburuk yang kuambil. Aku memilih mengalah, hanya karena menghindari keributan lebih jauh. Sialnya, aku jadi menderita karenanya.
Aku menyadari, mimpi buruk ini datang dalam wujud lain, karena ada yang harus kukerjakan. Jujur saja, aku masih merindukan ibukota, karena sifat cueknya yang membebaskan, dan membuatku merasa "utuh" sebagai manusia.
Aku tak pernah mempersoalkan masalah biaya hidup mahal di sana. Selama bisa berhemat dan ada yang bisa ditabung, semua terbukti baik-baik saja.
Lebih baik menjadi pekerja biasa yang punya rutinitas jelas, daripada jadi pengusaha keblinger yang hidupnya serba tak jelas. Buat apa punya mimpi yang tak bisa digapai?
Aku justru merasa lebih tentram di sana, karena dikte kalah oleh kesadaran, dan aku akhirnya bisa menemukan diri sendiri. Inilah hal paling berharga, yang membuatku merasa sangat bersyukur, dan akan sangat senang jika kembali lagi ke sana.
Tempat yang katanya brutal pun, kadang bisa terlihat sangat manusiawi, karena tubuh tak dipandang sebagai alasan. Inilah tempat diri bisa berkembang tanpa beban.
Mereka yang sudah memakai kacamata kuda, pasti tak menyadarinya.