Ada juga kemajuan demi kemajuan orang-orang di luar sana, yang membuatku kembali merasa getir. Aku senang untuk mereka, tapi sedih untuk diri sendiri.
Meski sedang pagebluk, mereka bisa melangkah lebih maju, luar biasa. Aku? Dipaksa kembali sejenak ke titik sebelumnya, alias jadi pesakitan. Mengenaskan.
Rasanya, ini seperti kembali ke mimpi buruk. Tinggal di tempat yang konon katanya berbudaya, tapi memandang tubuh, ada dikte di sana-sini, dan pandangan sinis pada perbedaan, seolah paling benar.
Aku paham, mereka punya cara pandang sendiri, tapi orang lain juga punya. Memaksakan hal-hal seperti ini adalah sebuah mimpi buruk bagi yang mendapatkan.
Apalagi, jika semua berjalan hanya satu arah. Hanya mau didengar, tanpa mau ganti mendengar sampai tuntas.
Ini jelas mengerikan. Aku sudah pernah merasakan, seberapa buruk situasi ini. Awalnya, diri ini memang bisa bertahan, tapi saat pertahanan itu jebol, air mata ini tumpah selama berhari-hari, seperti banjir bandang saja.
Jadi pendengar yang tak pernah punya kesempatan didengar, jelas bukan hal baik. Keadaan makin menyakitkan, saat aku akhirnya mendapati, kata-kata itu hanya umpan.
Aku berusaha dijerat untuk tidak lagi pergi, dan itu sangat menyakitkan. Mereka memang menjelaskan semua kalkulasi dari a sampai z, membuatku terlihat seperti bocah melihat sirkus.
Benar, pengalamanku masih kurang dibanding mereka, tapi aku sudah mengalami sendiri situasi aktual, dan bisa bertahan saat sulit. Semua itu kuhadapi sendiri, selagi mereka hanya merecoki dengan dikte, dikte, dan dikte.
Bantuan? Tak ada!
Entah apa yang ada di kepala mereka. Mereka masih berusaha meracuni pikiranku, dengan pemikiran ajaib mereka, bahkan saat jarak sudah sangat berjauhan.