Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Disabilitas, Aksesibilitas, dan Absurditas

3 Desember 2020   02:30 Diperbarui: 23 Desember 2020   23:14 1234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi difabel. (sumber: Shutterstock via kompas.com)

Misalnya, saat saya terpilih sebagai salah satu peserta magang di sebuah perusahaan, saya memilih diam, sampai akhirnya semua peserta tahu setelah ada pengumuman resmi. Saat itu, saya memilih diam karena ini sesuatu yang sangat sensitif, dan bisa jadi toxic jika terlalu diumbar.

Makanya, saat ada yang berlaku sebaliknya, saya langsung mengingatkan. Saya juga memilih membercandai saat ada yang mempertanyakan sikap diam saya.

Dari segi kompetitif, mereka memang sangat kompetitif, tapi mereka seharusnya juga bersiap untuk membaur dengan masyarakat. Terus berkumpul dengan teman-teman "senasib" hanya akan membuat mereka jadi bonsai atau kaktus dalam pot.

Di sisi lain, pelatihan keterampilan ini juga menampilkan sisi menyeramkan lain, khususnya terkait kesempatan kerja buat difabel. Saya sebut menyeramkan, karena kesempatan untuk bekerja ada, tapi jumlahnya terbatas, dan lebih terbatas lagi pada pekerjaan tetap.

Peluang lain ada dalam seleksi CPNS atau BUMN untuk difabel. Tapi, mengingat sistem dan penerapan regulasi yang ada saat ini belum benar-benar mumpuni, opsi ini belum sepenuhnya bisa diandalkan. 

Belum lagi, jika difabel lulusan sekolah umum justru diperlakukan berbeda, dengan lulusan sekolah khusus. Alih-alih menciptakan inklusivitas, diskriminasi-lah yang tumbuh.

Lucunya, program semacam ini malah banyak menggaungkan semangat kewirausahaan, tapi masih memandang sebelah mata difabel yang hanya ingin mencari kerja. Padahal, keduanya sama-sama baik.

Malah, lebih baik memberdayakan pekerja difabel yang serius, daripada mengajari mereka menumpuk utang, hanya karena ingin dilihat sebagai orang sukses, tapi punya banyak hutang.

Memberdayakan difabel memang sangat baik, tapi memberikan kesempatan untuk mereka bisa belajar dari bawah akan jauh lebih mendidik, karena mereka akan berhadapan dan dididik langsung lewat realita.

Dengan demikian, saat mereka naik level, mereka sudah benar-benar layak, dan punya kualitas. 

Beginilah pemberdayaan difabel itu seharusnya berjalan. Bukan semata soal penyediaan akses dan kuantitasnya, tapi juga soal seberapa aksesibel akses tersebut, dan seberapa berkualitas hasil akhir yang didapat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun