Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Disabilitas, Aksesibilitas, dan Absurditas

3 Desember 2020   02:30 Diperbarui: 23 Desember 2020   23:14 1234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi difabel. (sumber: Shutterstock via kompas.com)

Hal ini sudah saya buktikan sejak masa sekolah dasar sampai kuliah dan kerja. Kekurangan saya menjadi filter yang dapat membedakan, siapa teman, siapa lawan, dan siapa perundung. Kekurangan ini jugalah, yang menjadi pengingat, agar tak kelewat batas.

Tapi, situasinya akan jadi rumit, saat dunia kerja jadi latarnya. Apalagi, dengan segala hormat, Indonesia masih belum sepenuhnya punya cara pandang sehat soal difabel.

Salah satu kasus paling umum dari kerumitan ini adalah, syarat "sehat jasmani rohani" di berbagai lowongan pekerjaan. Ini adalah bahasa sangat halus dari "difabel dilarang masuk".

Syarat ini menjadi salah satu pembunuh nomor satu, khususnya bagi para difabel. Kebanyakan dari mereka akan langsung drop jika melihat syarat ini setelah mendaftar. Saya sendiri langsung memutuskan tidak mendaftar jika syarat ini tercantum. Sia-sia.

Faktor kondisi fisik jugalah, yang membuat saya tak terlalu memilih tempat. Sebagai contoh, jika kesempatan kerja tak ada di Yogyakarta, tapi di Jakarta, saya akan berangkat ke Jakarta tanpa ragu, begitupun sebaliknya.

Nyaris tak ada pilihan. Kalaupun ada, pilihannya sangat terbatas, dan tak pasti, apalagi dalam situasi seperti sekarang.

Di sisi lain, pengalaman hidup di Jakarta pada masa pandemi corona turut mempertemukan saya dengan komunitas disabilitas, dengan dua sisi. Pertama, sisi menyenangkan, dan kedua sedikit menyeramkan. Agak absurd, tapi beginilah kenyataannya.

Untuk sisi menyenangkan, saya mendapatkannya saat mengikuti acara hari disabilitas internasional tahun 2019 di Kedutaan Besar Australia, Jakarta. 

Suasana saat itu terasa menyenangkan, karena tak ada persaingan di sana, yang ada hanya pertemanan yang begitu hangat dan saling respek.

Tapi, saat bertemu sesama difabel di kesempatan lain, yakni saat mengikuti sebuah program pelatihan keterampilan untuk difabel, saya justru merasa ini sedikit menyeramkan.

Ada kompetisi, tapi atas nama kebersamaan, respek kadang lenyap entah kemana. Adanya kesempatan kerja, dan minat perusahaan kepada para difabel  membuat mereka seperti sekelompok ikan hiu yang sudah mencium bau darah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun