Bicara soal tim nasional dari negara-negara Amerika Latin, trio Brasil, Argentina dan Uruguay tentu menjadi tim paling familiar. Maklum, mereka sama-sama pernah juara Copa America, Piala Dunia, dan Olimpiade.
Dari masa ke masa, mereka selalu punya pemain bintang berkualitas dan tim nasional yang tangguh. Tak heran, prestasi di level atas mampu mereka raih.
Tapi, di balik tim yang tangguh, ada tim yang kerap jadi bulan-bulanan. Fenomena ini ada di setiap benua, tak terkecuali Amerika Selatan.
Di Amerika Selatan sendiri, awalnya ada tiga tim yang kerap jadi bulan-bulanan lawan, yakni Ekuador, Bolivia, dan Venezuela. Jika mengutip kata pepatah, mereka bagai pelanduk diantara gajah.
Maklum, selain dihuni Brasil, Argentina, dan Uruguay, zona CONMEBOL juga diisi tim kuda hitam macam Kolombia, Peru, Cile, dan Paraguay. Meski prestasinya tak sementereng trio juara dunia di atas, ketiganya cukup berpengalaman tampil di Piala Dunia, dan sama-sama pernah juara Copa America.
Memasuki era milenium, situasi sedikit berubah. Ekuador yang diperkuat Ivan Hurtado, Ulises De La Cruz, dan Agustin Delgado, akhirnya mampu lolos ke Piala Dunia 2002.
Setelahnya, mereka sempat lolos lagi di Piala Dunia 2006 dan 2014, kala generasi Antonio Valencia dan Edison Mendez menjadi pilar tim. Di Piala Dunia 2006, El Tri berhasil lolos ke babak perdelapan final, prestasi terbaik mereka sejauh ini.
Meski pencapaian tertinggi mereka di Copa America masih mentok di semifinal (1959 dan 1993) saat menjadi tuan rumah, mereka tak lagi dianggap remeh seperti sebelumnya.
Alhasil, persaingan di zona CONMEBOL semakin sengit, karena semua tim terus berkembang. Trio juara dunia pun tak lagi seleluasa dulu. Sebagai contoh, Uruguay gagal lolos ke Piala Dunia 2006 di Jerman, setelah kalah bersaing dengan Brasil, Argentina, Ekuador dan Paraguay di perebutan tiket lolos otomatis.
Praktis, tinggal Bolivia dan Venezuela, dua tim yang masih jadi "anak bawang" di Amerika Latin. Mereka kerap jadi lumbung poin tim-tim lain, dan kadang bergantian menempati posisi buncit klasemen kualifikasi.
Bolivia sendiri sebenarnya bukan tanpa prestasi. Â Tim berjuluk La Verde (Si Hijau) ini pernah juara Copa America 1963 di kandang sendiri, dan pernah tampil di Piala Dunia 1930 dan 1950, meski keduanya didapat melalui jalur undangan atau sebagai tim pengganti.
Di era 1990-an, Timnas dari negara tanpa pantai di Amerika Selatan ini sempat mencuri perhatian. Dimotori Marco Etcheverry, Luis Cristaldo, dan Erwin Sanchez, Bolivia mampu lolos ke Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat.
Kala itu, Tim Samba yang akhirnya menjadi juara di Amerika Serikat diperkuat pemain macam Romario dan Claudio Taffarel (kini pelatih kiper Timnas Brasil).
Bolivia kembali mencatat prestasi, saat menjadi finalis Copa America 1997 di kandang sendiri. Kali ini, giliran Brasil yang menundukkan mereka di final.
Setelahnya, mereka terpuruk dan kerap jadi bulan-bulanan lawan. Meski punya kandang berketinggian lebih dari 3600 meter di atas permukaan laut di kota La Paz, mereka kerap keteteran saat main di kandang lawan, atau menghadapi lawan berteknik dan taktik oke di kandang sendiri.
Benar, secara fisik mereka mampu mengimbangi, tapi agak kedodoran secara teknik. Sejak berakhirnya era Erwin Sanchez dkk, kebanyakan poin mereka di kualifikasi Piala Dunia diraih di La Paz.
Terkini, kualifikasi Piala Dunia 2022 bisa menjadi episode suram lainnya, karena mereka sudah tiga kali kalah dari tiga laga awal. Dua dari tiga kekalahan ini terjadi di La Paz, yakni atas Argentina dan Ekuador.
Bisa dibilang, mereka kini mengalami kemandekan, dan ketinggian La Paz tak sepenuhnya bisa diandalkan. Tim-tim lawan mulai bisa mengantisipasinya, sehingga tak lagi bermasalah dengan kadar oksigen tipis di kota ini.
Di Copa America, sejak mencapai final tahun 1997, Bolivia hanya mampu lolos dari fase grup pada Copa America 2015. Belakangan, mereka makin tertinggal, karena tim anak bawang lain di Amerika Latin, yakni Venezuela, juga mulai berkembang.
Venezuela sendiri memang masih menjadi satu-satunya negara zona CONMEBOL yang belum pernah lolos ke Piala Dunia. Tapi, faktor ini sedikit banyak bisa dimaklumi, karena negara ini menjadikan baseball sebagai olahraga nomor satu.
Meski belum pernah lolos ke Piala Dunia, progres Timnas Venezuela belakangan ini membuat persaingan menjadi cukup sulit diprediksi. Apalagi, mereka mulai bisa membuat kejutan, seperti saat mengalahkan Argentina 1-0 di kualifikasi Piala Dunia 2014.
Di level senior, Venezuela mengalami regenerasi yang cukup lancar. Setelah era Juan Arango (eks pemain Real Mallorca) selesai, mereka punya Salomon Rondon (eks pemain Newcastle United) sebagai bintang utama.
Regenerasi ini dipastikan masih akan berlanjut, karena La Vinotinto sudah punya calon penerus dalam diri Yangel Herrera (22). Pemain yang kini memperkuat Granada (Spanyol) ini merupakan bintang utama saat Venezuela mencapai final Piala Dunia U-20 tahun 2017, dengan dirinya meraih bola perunggu di akhir turnamen.
Meski tergolong lambat, progres sepak bola di Venezuela bisa jadi akan membawa mereka ke level berikutnya, sejajar dengan Ekuador, Paraguay, dan kuda hitam lainnya. Hal ini akan membuat Bolivia semakin terkungkung dalam ketertinggalan, karena terlalu mengandalkan faktor kandang.
Menariknya, cerita tim anak bawang di Amerika Latin ini menunjukkan, sepak bola memang meliputi banyak aspek yang harus diperhatikan sama baiknya, supaya seorang pemain atau sebuah tim bisa terus berkembang.
Jadi, masalahnya bukan bagaimana meraih hasil prestasi bagus, tapi soal apakah mau memulai proses untuk mulai berbenah, dan konsisten menekuninya sampai meraih hasil positif yang diharapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H