Dia memandang sinis sistem pendidikan yang bobrok, Â membanggakan keputusan "drop out" nya semasa kuliah di mancanegara dan sekolah menengah, hanya karena dirinya sudah menjadi pimpinan sebuah perusahaan kecil dan sering mendapat perhatian khalayak.
Rasanya, semua memang terlalu mudah buatnya. Tanpa harus tamat sekolah menengah pun, ia sudah punya status mentereng berkat sokongan orang tuanya. Tak ada yang istimewa.
Putus sekolah, tapi jadi tuan bagi para sarjana, atau tamatan SMK yang sudah kenyang pengalaman hidup. Inilah yang membuatnya tampak begitu bangga setengah mati, dan terus menyebut bobroknya pendidikan di negeri ini.
Ironis!
Memang, masih ada kekurangan di sana-sini, tapi nyatanya aku bisa menyelesaikan dengan kondisi fisik seadanya. Kalau memang bobrok, seharusnya dia bisa menyelesaikan dengan mudah, tanpa harus pergi ke luar negeri.
Tapi, seiring berjalannya waktu, aku menyadari, hidupnya sudah diracuni obsesi menjadi bintang. Dia haus akan sorotan, dan ingin orang lain menirunya
Aku tak ingat, berapa kali ia berusaha meracuni pikiranku untuk jadi bintang dengan menjual kondisi fisik ini. Jujur, ini sebuah penghinaan buatku. Aku tak menyangka, dia punya pandangan picik.
Awalnya, aku memilih untuk terus diam dan memaklumi, karena dia bukan orang yang biasa turun ke bawah. Ia memang bak berada jauh di atas, seperti satelit yang melampaui langit.
Tapi, pagebluk ini justru menelanjangi dirinya tanpa ampun. Datangnya masa sulit justru membuat harga diri dan kebintangannya dia rusak sendiri lewat keputusan dan saran kurang bertanggung jawab yang terus dibuatnya.
Dengan saran yang selalu sama, aku melihat dia sudah buntu, seperti orang linglung. Dia tak pernah berhadapan dengan situasi sulit, dan selalu ingin lari dari tanggung jawab.
Konyolnya, ia malah dengan enaknya berlibur ke sana-sini, dan mengemis dukungan demi menjaga image sukses. Menggelikan sekali.