Bicara soal Sumpah Pemuda, salah satu poin utama yang termuat di dalamnya adalah komitmen untuk berbahasa satu: bahasa Indonesia. Inilah alasan, mengapa bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa persatuan hingga kini.
Seperti bahasa pada umumnya, berbagai elemen dalam  bahasa Indonesia terus dimodifikasi, dengan mengikuti tren perkembangan zaman. Salah satu contohnya adalah penambahan jumlah kata serapan, baik dari bahasa asing atau bahasa daerah.
Tak bisa dipungkiri, pembaruan ini memang menjadi satu keharusan, karena merupakan salah satu kunci kelestarian sebuah bahasa.
Tapi, pembaruan ini kadang juga menghasilkan sebuah keanehan, antara lain tren bahasa "inggris rasa Indonesia", alias "Indonesian English", yang biasa disingkat "Indoglish". Tren ini banyak muncul di kota besar, dan semakin mewabah, seiring mekarnya era media sosial dan globalisasi.
Awalnya, dalam beberapa hal, saya memaklumi fenomena ini, karena ada beberapa kata dalam bahasa Inggris, yang memang diserap ke dalam bahasa Indonesia, misalnya "stop", atau kata bahasa Inggris yang sudah umum dipahami seperti charger, smartphone, atau sebangsanya.
Tapi, semakin kesini, fenomena bahasa "Indoglish" ini semakin terlihat menjijikkan. Penyebabnya, banyak penerapan penggunaan bahasa Inggris yang terkesan dipaksakan, dan menghasilkan kebingungan.
Tren bahasa "Indoglish" ini terlihat makin konyol, karena muncul saat masih banyak orang belum memahami betul bahasa Indonesia, tapi sudah langsung berbicara bahasa Inggris, dengan pengucapan kosakata dan pemahaman gramatikal seadanya.
Di sini, saya tak perlu menyebutkan satu daerah dengan penutur bahasa "Indoglish" secara spesifik. Selain karena sudah jadi rahasia umum, fenomena ini sudah menggejala secara luas, lintas daerah, dan lintas batas di Indonesia.
Celakanya, masih banyak orang yang tidak mau mengikuti proses belajarnya, tapi ingin langsung bisa menguasai. Atau, mereka hanya menggunakan secara serampangan, tanpa memahaminya.
Ibarat orang main bola, ia hanya mau langsung bermain dan mencetak gol, tanpa latihan dan pemanasan sama sekali. Tidak kolaps di lapangan saja sudah sangat bagus.
Akibatnya, muncul misinterpretasi, dan kekacauan, akibat pemahaman yang tidak satu suara. Maksud hati ingin menerapkan pepatah "sekali dayung dua tiga pulau terlampaui", Â yang terjadi malah "sekali dayung dua tiga pulau kena tsunami". Tragis!
Contoh kekinian dari fenomena ini antara lain bisa kita lihat, dari istilah "New Normal", yang banyak digembar-gemborkan selama pandemi Corona. Istilah ini memang sudah generik dan mengglobal.
Tapi, saat istilah ini diterapkan di Indonesia, muncul beragam interpretasi, salah satunya interpretasi ekstrem "New Normal" sebagai sebuah keadaan "Normal" sepenuhnya. Inilah salah satu faktor, mengapa kasus terkonfirmasi positif Corona di Indonesia masih belum sepenuhnya terkendali.
Padahal, jika istilah yang digunakan sejak awal sudah memakai bahasa Indonesia, misalnya "Kebiasaan baru", orang pasti akan langsung memahami, dengan interpretasi seragam, tanpa ada kengawuran di dalamnya. Dengan begitu, semua tertangani dengan lebih baik.
Tak bisa dipungkiri, bahasa Inggris memang sudah menjadi satu bahasa kunci di tingkat global. Jadi, wajar jika menguasainya menjadi satu keharusan.
Tapi, bukan berarti tiap kata didalamnya boleh digunakan seenaknya, dicampur aduk semaunya, apalagi sampai menciptakan sekat "kelas pergaulan". Menggunakan bahasa Inggris memang terlihat keren, tapi jika penggunaan dan pemahamannya kacau, itu justru akan memalukan, bahkan bisa merugikan.
Jadi, lebih baik kita memahami dan menguasai bahasa Indonesia dengan baik, daripada hanya mengerti kulit luar berbagai bahasa asing, tanpa memahaminya dengan baik.
Pemahaman dan penguasaan bahasa Indonesia yang baik akan sangat berguna, karena inilah kunci paling dasar, untuk menguasai berbagai bahasa asing.
Bertutur kata dalam bahasa Indonesia bukan sesuatu yang "kuno" atau "tidak berkelas". Inilah salah satu identitas keindonesiaan, yang menunjukkan dengan jujur siapa diri kita sebagai orang Indonesia.
Lebih baik menguasai satu yang dapat menaklukkan seribu, daripada menguasai seribu hanya untuk menaklukkan satu.
Penguasaan bahasa yang baik, adalah wujud nyata "kemenangan tanpa pertarungan", karena pada prosesnya, kita diajak untuk menihilkan ego, dan mampu mengenali siapa diri kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H