Ada yang berupa ayam fillet goreng tepung dilumuri sambal, ada yang berupa ayam goreng biasa, dengan sambal terpisah, ada juga yang berupa ayam goreng tepung yang dilumuri sambal.
Kalaupun ada yang ayamnya benar-benar digeprek, jumlahnya hanya segelintir, dan kondimen yang pengolahannya mendekati kata geprek hanya sambal, khususnya jika sambal itu tidak diolah menggunakan mesin blender atau sejenisnya.
Jika namanya menggunakan kata "penyet", tentunya bisa langsung dimengerti, karena salah satu kondimen utamanya memang menggunakan sambal, yang proses pengolahannya diulek atau dipenyet, seperti lazimnya menu penyetan. Tapi, berhubung kata "geprek" yang digunakan, ada sedikit ambiguitas.
Benar, pada awalnya saya sempat merasa bingung, tapi kini sudah terbiasa. Saya malah jadi menyadari, selain sudah menasional, kata "geprek" ternyata sudah menjadi satu bagian dari trik marketing dunia kuliner Indonesia.
Menu "KFC dengan kearifan lokal" ini memang jadi tren yang "Indonesia banget", karena menawarkan rasa pedas, yang bisa diatur sesuai selera, cocok di lidah, dan masih terus berkembang, bahkan makin berkembang di masa pandemi seperti sekarang.
Memang, semakin kesini, kegilaan masyarakat kita pada rasa pedas memang  semakin menjadi-jadi. Banyak yang menjadi kompulsif, dan berlomba-lomba menjadi "yang terkuat" . Padahal, jika tak bisa dikendalikan, itu akan merugikan.
Tapi, dengan sisi kompulsif yang ditawarkannya lewat tingkat kepedasan, ayam geprek menjadi satu contoh sederhana dari pentingnya menyadari batasan diri.
Lagipula, bagian terpenting dari makan bukan kekuatan, tapi tanggung jawab. Lebih baik makan secukupnya sampai habis, daripada makan berlebihan dengan meninggalkan banyak sisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H