Di sini, pertanyaan yang paling relevan bukan lagi "seberapa sering kamu menonton langsung tim idola di stadion?", tapi "apakah kamu punya perasaan yang sama pada klub idolamu, baik saat susah maupun senang?".
Tentunya, ini menjadi saat yang tepat untuk mendefinisi ulang, seperti apa wujud "suporter sejati" yang sebenarnya, sekaligus memfilter ulang mereka yang biasa tampil di stadion, karena tak semuanya datang untuk menikmati aksi tim kesayangan.
Bisa saja, mereka hanya turis yang kebetulan mampir, pembuat konten media sosial yang ingin viral, atau hooligans yang ingin berbuat onar.
Sebagai suporter pun, masa sulit kali ini seharusnya juga memperlihatkan, mana suporter yang benar-benar mendukung saat susah maupun senang, atau "Glory Hunter", yang hanya mendukung tim saat di atas, tapi menghilang saat terpuruk.
Menariknya, inilah sisi sentimentil dan romantis di balik maskulinitas dan pragmatisme sepak bola, yang seharusnya mendapat panggung di masa pandemi, sekaligus membuktikan kebenaran quote Bill Shankly (pelatih legendaris Liverpool):
 "If you can't support us when we lose or draw, don't support us when we win."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H