Setelah sempat diliputi pro-kontra, akhirnya pada Senin (5/10), Undang-Undang Cipta Kerja resmi disahkan DPR. Ada beberapa poin dari Undang-Undang ini, yang menuai pro-kontra, salah satunya adalah tentang penghapusan hak libur 2 hari dalam seminggu.
Aturan ini tercantum di Bab IV Pasal 79 ayat 2b  UU Cipta Kerja. Dimana, pekerja diberi waktu libur sehari dalam seminggu. Otomatis, jumlah hari kerja akan naik, dari lima hari menjadi enam hari.
Sebelumnya, pada UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003, diatur ketentuan waktu libur yang lebih fleksibel. Dimana, istirahat 2 hari berlaku untuk 5 hari kerja dalam seminggu, dan 1 hari untuk enam hari kerja.
Pada prakteknya, kebanyakan perusahaan menerapkan 5 hari kerja, dengan 2 hari istirahat di akhir pekan. Jika hari kerja ditambah satu lagi, agaknya akhir pekan tinggal kenangan.
Terkait UU Cipta Kerja sendiri, pemerintah banyak menyebut, ini adalah satu cara ideal meningkatkan level daya saing Indonesia. Tapi, saya justru melihat ini sebagai satu kemunduran.
Entah apa yang dipikirkan para perumus Undang-Undang ini, sampai mereka bisa berpikir terbalik. Bukannya fokus memperbaiki budaya kerja, mereka malah menambah jumlah jam kerja dalam sepekan.
Itu belum termasuk total jam lembur dalam sepekan, yang naik menjadi 18 jam kerja, dari yang sebelumnya 14 jam.
Saya menyebut cara berpikir mereka terbalik, karena aturan ini diterapkan, justru pada saat negara lain sudah mulai berlomba-lomba menerapkan budaya kerja efektif, yang jelas-jelas mengedepankan kualitas hasil kerja, bukan kuantitas jam kerja.
Walaupun maksudnya baik, penambahan jam kerja ini bisa jadi bumerang. Dengan bertambahnya jam kerja, tekanan kerja yang didapat akan semakin besar. Bukannya makin produktif, tapi malah kontraproduktif.
Otomatis, penghormatan pada privasi pekerja makin berkurang, dan ini akan jadi ironi. Karena, nilai budaya kita dihilangkan begitu saja, tapi di saat bersamaan, kita masih mengklaim diri sebagai bangsa yang berbudaya.
Yang benar saja!