Judul di atas, yang berarti "Menimba Ilmu dari Para Sesepuh Kompasiana", menjadi satu kesimpulan sederhana, dari Blogshop Kompasiana edisi Kamis (24/9).
Kebetulan, Blogshop kali ini diisi oleh Mas Nurulloh alias Nurul Uyuy (COO Kompasiana), dengan bintang tamu tiga sesepuh Kompasiana, yakni Pak Katedrajawen (mulai menulis sejak 2009), Opa Tjiptadinata Effendi (mulai menulis sejak 2012), dan Pak Rustian Al Ansori (mulai menulis sejak 2014).
Ketiganya saya sebut "sesepuh", karena sama-sama sudah membuat lebih dari 5000 artikel di Kompasiana. Jadi, mereka rata-rata membuat lebih dari satu artikel sehari.
Sebagai seorang "anak ingusan", perjumpaan dengan para senior kali ini agak spesial, karena biasanya lebih banyak bertemu di kolom komentar atau media sosial, terutama dengan Pak Katedrajawen dan Opa Tjiptadinata.
Kali ini, perjumpaan dengan mereka terasa spesial, karena mereka membagikan kiat dan motivasi menulis. Ternyata, perspektif ketiganya cukup beragam.
Ada yang menjadikan menulis sebagai sebuah kebutuhan. Ada yang menjadikan menulis sebagai sebuah terapi tubuh dan jiwa. Ada juga yang menulis untuk mengejar kepuasan batin.
Jika disatukan, motivasi ketiganya menjadi satu perspektif holistik, yang bisa dijadikan satu kesimpulan, tentang tujuan utama dari menulis secara konsisten.
Bukan sebagai ajang aktualisasi diri atau mengejar penghargaan semata, tapi lebih dari itu, karena menulis adalah sarana pemenuhan kebutuhan batin, dalam hal ini kebutuhan untuk mengutarakan isi hati dan pikiran sebebas mungkin secara bertanggung jawab.
Sederhananya, siapa yang mau dan menjaga komitmen untuk tetap menulis itu bagus, sementara apresiasi hanyalah bonus, bukan sebaliknya. Inilah kunci awet dalam menulis menurut ketiganya.
Bagi saya, memang pengalaman ketiganya cukup relevan. Meski awalnya mulai menulis secara tidak sengaja, pada prosesnya, saya sendiri mendapati, menulis menjadi satu "terapi depresi" yang sangat ampuh, karena mampu membuat pikiran bergerak bebas, meski kondisi tubuh serba terbatas.
Di sini, menulis menjadi satu-satunya hal, dimana kekurangan fisik saya menjadi sama sekali tak penting. Khususnya, Â saat penolakan dan masalah akibat masalah fisik datang silih berganti.