Viralnya video aksi "marah-marah" oknum mahasiswa senior kepada mahasiswa baru, dalam ospek virtual di sebuah kampus beberapa waktu lalu memantik banyak reaksi, karena budaya senioritas warisan era kolonial ternyata masih ada.
Meski agak menjengkelkan, saya justru berterima kasih, karena momen ini mengajak saya untuk sedikit kilas balik dari merefleksikan, sedikit pengalaman saya semasa kuliah dulu, khususnya soal senioritas.
Konon katanya, senioritas di kampus adalah cara paling efektif, untuk menanamkan rasa hormat junior kepada senior. Ini penting, karena kelak akan dapat membantu di dunia kerja.
Tapi, dalam perjalanannya, sebagian besar dari ini hanya kebohongan. Jangankan di dunia kerja, waktu masih kuliah saja, senioritas hanya sebuah previlese saat masa KRS semester.
Di mana, jadwal mahasiswa angkatan senior memang didahulukan karena faktor administratif. Selebihnya, menjadi "senior" hanya alasan "tebar pesona" di mata mahasiswa baru, khususnya pada masa ospek.
Selebihnya, tak ada perbedaan mencolok, karena kuliah jelas berbeda dengan sekolah yang bersistem paket. Ada mata kuliah berjenjang, yang hanya bisa diambil jika nilai mata kuliah prasyarat sudah sesuai standar minimum ketuntasan.
Jika nilainya kebakaran, maka harus diulang sampai tuntas. Aturan ini berlaku untuk semua mahasiswa, baik yang masih baru atau sudah veteran.
Di sini, senioritas justru menampilkan dua wajah, yakni menjadi "senior" karena waktu, dan menjadi "senior" karena progres studi. Rasanya pun berlawanan, antara terlihat "keren" dan "memalukan".
Disebut keren, karena ia bisa melaju  cepat, hingga lulus sesuai jadwal akademik, bahkan lebih cepat dari seharusnya. Tentunya, ini biasa ditemui pada mahasiswa yang progresnya lancar sejak awal, atau mereka yang rela mengambil SKS penuh, untuk mengejar ketertinggalan di awal.
Kebetulan, saya dulu termasuk mahasiswa yang lulus "sesuai jadwal", meski pada prosesnya harus mengambil SKS penuh, karena mengulang beberapa mata kuliah bersama angkatan senior dan junior.
Saya sendiri memilih "bodo amat" dengan senioritas, karena jika terlalu ditonjolkan, status "senior" adalah sebuah beban. Saya sadar, menjadi "senior" adalah sebuah tanggung jawab, bukan kebanggaan.